Wanita mulia berdarah biru itu hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sulit baginya untuk bisa menerima Zaid bin Haritsah menjadi belahan hatinya. Bukan semata-mata karena Zaid bin Haritsah bekas budak yang berkulit hitam. Bukan pula karena Zaid bin Haritsah hanyalah pembantu Rasulullah saw., namun, lebih disebabkan hati bening dan jiwa suci wanita itu telah dipenuhi sejuta asa untuk menjadi belahan jiwa lelaki sempurna penutup risalah.
Sesaat setelah luapan emosi kewanitaannya mengalir, wanita pemilik nama Zainab binti Jahsyi itu menjawab lirih, "Wahai Rasulullah, aku sulit bersanding dengannya. Aku adalah wanita merdeka di antara kaumku. Aku juga adalah anak perempuan bibimu. Aku tak mungkin menikah dengannya."
Tak lama berselang, Allah SWT. menurunkan ayat-ayat cintaNya, "Dan tidaklah paut bagi laki-laki mukmin dan (tidak patut pula)bagi perempuan mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, lantas mereka memilih pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah sesat dangan kesesatan yang nyata." (Q.S. Al-Ahzab, 33: 36)
Tetes-tetes bening air mata pun mulai mengalir deras di pipi wanita yang paling gemar berderma itu. Ia sama sekali tak menyangka, keengganannya untuk bersanding dengan Zaid bin Haritsah akan menjadi penyebab turunnya ayat tentang cinta dan ketaatan.
Ayat-ayat tadi telah menyentuh hati wanita terpandang dari bani Hasyim itu. Ayat-ayat itu telah menggetarkan iman dan cintanya kepada Allah swt., Sang pemilik cinta. Ia pun berkenan untuk bersanding dengan Zaid bin Haritsah walau tanpa rasa cinta. "Ya Rasulullah, jika memang Allah dan Rasul-Nya telah meridhai Zaid unukku, maka aku pun tak kuasa menolaknya."
Waktu terus berlalu, namun relung-relung hati mereka masih juga hampa dari cinta. Jiwa-jiwa mereka bertemu tanpa rasa kasih sayang. Kemesraan dalam rumah tangga itu layu tanpa pernah tumbuh berkembang. Pelaminan itu hanya menghasilkan suasana duka yang berkepak-kepak laksana sayap-sayap patah dan mengalirkan air mata kepedihan dari kelopak mata mereka. Bahtera cinta itu pun terancam karam tampa sempat berlayar menuju pelabuhan cinta.
Zaid bin Haritsah menrasa tak kuasa mengayuh biduk cintanya. Zainab binti Jahsyi pun tak mampu mengembangkan layar kasihnya. Dengan membawa relung-relung hatinya yang patah, Zaid bin Haritsah mengungkapkan hasrat hatinya di hadapan Rasulullah saw. untuk menutup kisah cintanya dengan Zainab binti Jahsyi. Namun lelaki mulia itu hanya menjawab, "tahanlah istrimu dan bertaqwalah kepada Allah SWT.". Dua kali Zaid bin Haritsah mengungkapkan keinginannya ini, namun manusia pilihan ini tetap menjawab dengan kalimat yang sama.
Pemilik gelar Al-Amin itu sejatinya sudah mengetahui bahwa mahligai yang dibangun diatas cinta dan ketaatan kepada Allah itu tak lama lagi akan berakhir. Kekasih Allah itu juga tahu bahwa ia harus menikahi Zainab, bekas istri anak angkatnya sendiri. Hati lak-laki suci itu risau. Jiwanya gundah. Ia tahu persis bahwa jika hal itu terjadi, komunitas musyrik dan munafik akan memanfaatkannya untuk membunuh karakter kenabiannya dengan menebar opini "Muhammad telah menikahi mantan menantunya sendiri".
Tak lama kemudian, turunlah ayat suci penghapus gundah lelaki mulia itu, "Dan ingatlah ketika kamu (Muhammad) berkata kepada orang yang telah Allah limpahkan rahmat kepadanya (Zaid bin Haritsah), 'tahanlah istrimu dan bertaqwalah kepada Allah', sedang kamu (Muhammad) menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah telah menyatakannya kepadamu. Kamu takut kepada manusia, sedang Allah lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya, Kami kawinkan engkau dengannya agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk menikahi istri anak-anak angkatnya apabila mereka telah bercerai." (Q.S. Al-Ahzab, 33: 37)
Rasulullah saw, Zaid bin Haritsah, dan Zainab binti Jahsyi merasakan nikmat yang tak terkira karena menjadi sebab turunnya ayat-ayat cinta. Mereka bertiga merasakan nikmat yang tak dapat diuraikan dengan kata-kata saat menjadi penyebab turunnya hukum Islam. Karena itulah, wajar kalau kemudian Zainab berkata bangga di hadapan para madunya "Klian dinikahkan dengan Rasulullah oleh keluarga-keluarga kalian, sedang aku dinikahkan dengan Rasulullah oleh Allah SWT. dari tujuh lapis langit."
Kenikmatan yang tiada tara terasa mebelai jiwa-jiwa mereka. Cinta Allah menyentuh sukma mereka. Jiwa mereka pun tak lagi gundah. Hati mereka tak lagi patah. Rona wajah mereka berseri-seri memendarkan cahaya langit. Mereka sukses melakoni peran yang dititahkan Sang Pencipta. Karena mereka kita menjadi sadar bahwa kita setara. Pembeda level mutu kita hanyalah taqwa kita kepadaNya. Mereka menjadikan kita mengerti bahwa tidak mengapa seseorang menikahi janda anak angkatnya selepas masa iddahnya. Mereka juga membuat kita memahami bahwa cinta kepada-Nya adalah cinta di atas cinta kepada lainnya. (Simfoni Cinta)
0 komentar:
Posting Komentar
Sobat blggor, jangan lupa komentarnya ya...!!!
mo nulis saran, tanggapan, masukan, atau sekedar kenalan pun boleh koq
kalo kesulitan posting komen, coba klik dulu "select profil" => Name/URL. cukup tulis nama anda jika belum punya URL. makasih ya...!!!