c@k Ain

"Renungan Pembangun Jiwa"


Surat pemanggilan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu telah membuat keluarga besar istrinya terperanjat dan risau. “Apa salah suami saya? Kena kasus apa?” tanya Sang Istri. Tentu saja juga membuat dirinya yang sedang memulai i’tikaf di hari pertama Ramadhan itu gamang. Bagaimana bisa kondisi ini ada ketika ia benar-benar ingin memulai i’tikafnya secara penuh mulai hari pertama sampai hari terakhir nanti. Tapi ia menyadari bahwa ini semua takdir Allah.
Yang membuatnya sedikit tenang adalah ia dipanggil oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu kapasitasnya hanya sebagai saksi atas sebuah kasus yang terjadi di sebuah perusahaan asuransi, tempatnya ia bekerja. Bukan sebagai tersangka ataupun terdakwa. Tapi itu saja sudah membuatnya menguras energi dan mengalihkan fokusnya.
Berulang kali ia membaca surat itu. Pelan-pelan. Lalu ia pahami betul setiap kata yang ada. Agar tidak ada kata yang tidak dimengertinya. Ia mengontak teman-temannya untuk berkonsultasi tentang kasusnya ini. Semua dipersiapkan dengan betul supaya tenang dalam persidangan dan ia mampu menjawab semua pertanyaan Majelis Hakim.
Selama proses itu ia mengamati cara berpikir dan tindakannya sendiri. Di sinilah ia mengerti bahwa telah ditampakkan di hadapan dirinya sebuah pelajaran maha penting. Pelajaran tentang laku yang seharusnya ia kedepankan saat berinteraksi dengan Al-Qur’an.
Seharusnya ia lebih gemetar saat menerima ‘surat-surat’ dari Allah itu tinimbang surat dari Pengadilan negeri Jakarta Selatan. Surat dari Sang Pencipta Manusia yang kedudukannya jelas sangatlah jauh daripada Majelis Hakim yang hanya makhluk fana. Apatah lagi saat membacanya. Ia seharusnya gemetar saat mendapat ancaman-ancaman jika Ia tidak memenuhi apa yang telah dijanjikannya saat ia masih berada di alam ruh.
Seharusnya ia berlinang air mata saat ia tak mampu memahami setiap makna dibalik kata yang tertulis di sana. Apatah lagi saat ia menyadari bahwa ia tak mampu untuk melaksanakan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan.
Seharusnya ia lebih takut dihadapkan pada sebuah pengadilan kelak yang benar-benar tanpa intervensi uang dan kekuasaan. Pengadilan yang membuat setiap manusia terperanjat ngeri karena kedahsyatan suasananya. Apatah lagi Sang Hakimnya di sana.
Pun seharusnya ia lebih mempersiapkan diri sesempurna-sempurnanya untuk mencari bekal terbaik. Agar kelak ia tak terjerembab karena dilempar dengan buku amalnya dari belakang. Duhai diri…berbeda sekali diri menghadapi dua hal ini.
“Karena yang satu adalah material dan yang satunya lagi adalah masalah iman,” ujarnya. Ia menyadari bahwa ia adalah bagian dari milyaran manusia yang hidup di muka bumi ini dan berada pada zaman serba materialistis. Tapi tak serta merta harus terpalit, terseret-seret, dan terjerumus pada semua yang menggodanya.
Tekad pun tercetus, materialisme bolehlah hidup tapi bukan di hatinya tapi cukup di tangannya. Di hatinya hanya untuk Al Qur’an yang kembali ia baca setiap harinya satu juz setelah Ramadhan meninggalkan dirinya. Ia tartilkan bacaannya, karena setiap huruf di dalamnya punya hak masing-masing untuk dibaca dengan benar. Ia bertekad kuat memahami makna yang dikandungnya, selain pula menambah pundi-pundi kekayaan hafalannya. Tertatih-tatih dengan memohon perlindungan-Nya agar ia selamat dalam mengumpulkan sebaik-baik bekal.
Saya termenung mendengar tuturannya pada saat acara mabit tadi malam. Ini adalah sebagian kecil dari upayanya meri’ayah (memelihara) amalan-amalan Ramadhan agar tetap tumbuh dan bersemi setelah Ramadhan dan Syawal usai. Sebuah telatah yang patut dijiplak mentah-mentah tanpa perlu membayar royalti. Biar Allah SWT yang membayarnya saja dengan balasan banyak kebaikan. (Riza Almanfaluthi)


Suatu ketika di sebuah sekolah, diadakan pementasan drama yang ini merupakan kegiatan rutin sebagai bentuk apresiasi atas minat dan bakat siswa. Pentas drama yang meriah, dengan pemain yang semuanya siswa-siswi di sana. Setiap anak mendapat peran dan memakai kostum sesuai dengan tokoh yang mereka perankan masing-masing. Semuanya tampak semangat dan bersungguh-sungguh dalam memainkan perannya, sebab pada pementasan itu akan ada pemberian reward kepada anak yang tampil terbaik dalam pentas.
Di depan panggung, semua orangtua murid ikut hadir dan menyemarakkan acara itu.
Lakon drama berjalan dengan sempurna. Semua anak tampil dengan maksimal. Ada yang berperan sebagai petani, lengkap dengan cangkul dan topinya, ada juga yang menjadi nelayan, dengan jala yang disampirkan di bahu. Di sudut sana, tampak pula seorang anak dengan raut muka ketus, sebab dia kebagian peran pak tua yang pemarah, sementara di sudut lain, terlihat anak dengan wajah sedih, layaknya pemurung yang selalu menangis. Tepuk tangan dari para orangtua dan guru kerap terdengar menyeruak di sisi kiri dan kanan panggung.
Tibalah kini akhir dari pementasan drama. Dan itu berarti sudah saatnya Guru mengumumkan siapa yang berhak mendapat gelar pemain peran terbaik. Setiap anak tampak berdebar dalam hati, berharap mereka terpilih menjadi pemain drama yang terbaik. Dalam komat-kamit mereka berdoa supaya Pak Guru akan menyebutkan nama mereka dan mengundang ke atas panggung untuk menerima penghargaan. Para orangtua pun ikut berdoa, membayangkan anak mereka menjadi yang terbaik.
Pak Guru telah menaiki panggung, dan tak lama kemudian ia menyebutkan sebuah nama. Ahha… ternyata, anak yang berperan menjadi pak tua pemarah-lah yang menjadi juara. Dengan wajah berbinar, sang anak bersorak gembira. “Aku menang…”, begitu ucapnya. Ia pun bergegas menuju panggung diiringi kedua orangtuanya yang tampak bangga. Tepuk tangan terdengar lagi. Sang orangtua menatap sekeliling, menatap ke seluruh hadirin dengan penuh rasa bangga.
Pak Guru menyambut mereka. Sebelum menyerahkan hadiah, ia sedikit bertanya kepada sang “jagoan, “Nak, kamu memang hebat. Kamu pantas mendapatkannya. Peranmu sebagai seorang yang pemarah terlihat bagus sekali. Apa rahasianya ya, sehingga kamu bisa tampil sebaik ini? Kamu pasti rajin mengikuti latihan, tak heran jika kamu terpilih menjadi yang terbaik..” tanya Pak Guru. “Coba kamu ceritakan kepada kami semua, apa yang bisa membuat kamu seperti ini…” Dengan polos sang anak menjawab, “Ayah sering marah-marah dan berteriak kepada saya di rumah, bahkan kepada ibu pun ayah sering membentak-mbentak, jadi ya saya ikuti gayanya Ayah.”
Tampak sang Ayah yang mulai tercenung. Usai bibir anak itu terkatup keadaan terasa senyap. Begitupun kedua orangtua sang anak di atas panggung, mereka tampak tertunduk. Jika sebelumnnya mereka merasa bangga, kini keadaannya berubah. Seakan, mereka berdiri sebagai terdakwa di muka pengadilan. Mereka belajar sesuatu hari itu. Sungguh tak pernah terbayangkan dalam benak sang orang tua bahwa anaknya akan merekam begitu kuat dan detail setiap perilakunya di rumah. Ia merasa ada yang perlu diluruskan dalam perilaku mereka.
Saudaraku, setiap anak, adalah duplikat dari orang di sekitarnya. Setiap anak adalah peniru, dan mereka belajar untuk menjadi salah satu dari kita. Mereka akan belajar untuk menjadikan kita sebagai contoh, sebagai panutan dalam bertindak dan berperilaku. Mereka juga akan hadir sebagai sosok-sosok cermin bagi kita, tempat kita bisa berkaca pada semua hal yang kita lakukan. Mereka laksana air telaga yang merefleksikan bayangan kita saat kita menatap dalam hamparan perilaku yang mereka perbuat.
Saudaraku, saya ingin berpesan kepada kita semua, “berteriaklah kepada anak-anak kita saat kita marah, maka, kita akan membesarkan seorang pemarah. Bermuka ketuslah kepada mereka saat kita marah, maka kita akan membesarkan seorang pembenci, dan biarkanlah mulut dan tangan kita yang bertindak secara liar saat kita marah, maka kita akan menciptakan seorang yang penuh dengki…jika memang itu yang diinginkan


Dulu… ketika aku masih SMA, sahabat-sahabatku sering memanggilku dengan julukan dewa cinta, dukun cinta, dokter cinta, ustadz cinta dsb. Maklum, waktu itu aku memang sering menjadi tumpahan curhat sahabat-sahabatku ketika mereka sedang “merasa bermasalah” dengan cinta. Padahal saat itu aku sendiri belum pernah merasakan apa yang sedang mereka rasakan, karena memang sejak dulu aku sudah punya persepsi tersendiri tentang “cinta ala remaja” yang sering diluapkan dengan bentuk khalwat/pacaran. Bagiku pacaran tak lebih dari sebuah kebohongan. Semakin lama pacaran maka semakin besar pula kebohongan-kebohongan yang dinampakkan oleh masing-masing. Ini pula yang sering kusampaikan ke sahabat-sahabatku ketika mereka curhat. Memang nasehatku ini tidak serta merta membuat sahabatku langsung berlepas diri dari jeratan “cinta monyet” yang cukup merepotkan ini, namun setidaknya aku telah memberikan nasehat yang benar dan menawarkan solusi-solusi yang Islami. Tapi tidak jarang juga solusi yang kutawarkan membuat sahabat-sahabatku sadar dan merasa lebih tenteram ketika tidak lagi berurusan dengan cinta monyet dan kembali ke jalan syar’i.
Seringkali aku tersenyum sendiri manakala ingat pengalaman sahabat-sahabatku semasa SMA dulu. Namun satu hal yang perlu diingat, kalo kemudian sahabat-sahabatku merasa tenang dan tenteram setelah curhat, itu bukan karena pandainya aku merangkai kata yang menggugah jiwannya, namun karena begitu indah dan mulianya ajaran Islam dalam menjaga martabat manusia sebagai makhluk beradab dan berbudaya. Ya..jika kita memahami betul aturan Islam dan mengikutinya dengan penuh keyakinan maka segalanya akan terasa begitu indah walau nampak pahit pada awalnya.
Ternyata, pengalamanku menjadi tempat curhat ini tidak berhenti di masa SMA saja. Hingga saat ini pun aku masih sering menjadi jujukan teman-teman untuk mengungkapkan gunda gulananya terkait cinta, bahkan sebagian teman yang sudah berkeluarga pun tak jarang ikutan curhat masalah rumah tangganya. Padahal yang dicurhati tak lebih hanya seorang “jomblo tulen” menurut istilah anak muda sekarang.
Hingga suatu saat…
Apa yang menimpa sahabat-sahabatku itu benar-benar menimpa pada diriku. Yakni, kita sesosok wanita shalihah -tentunya menurut pandanganku yang entah ini objektif atau subjektif- mulai merasuki alam pikiranku dan mengacak-acak logika berfikirku. Aku telah berusaha untuk mengabaikannya namun ternyata tidak semudah apa yang selama ini kubayangkan. Aku pun jadi teringat sahabat-sahabat SMA ku dulu dan mulai menyadarai betapa sulitnya menghindar dari masalah ini. Namun demikian aku tidak boleh kalah dengan perasaanku karena sesungguhnya akulah yang harus menguasai perasaanku dan bukan perasaanku yang menguasai diriku. Berbagai masalah dan persepsi yang berkeliaran dalam pikiranku kumuntahkan pada Hati Nuraniku demi mengharapkan sebuah solusi. Bagaimana memulai ta’arufan, pantaskah aku bersanding dengannya, bagaimana bila nanti ditolak, bagaimana caranya mengkhitbah, bagaimana membangun komitmen, bagaimana menyampaikan ke orang tua tentang rencanaku untuk nikah, dan bagaimana-bagaimana yang lainnya. Yah.. benar, sebuah RASA sedang menyapa saya. Alhamdulillah… Saya bersyukur atas karunia Allah yang satu ini. Singkat kata, singkat cerita. Hati Nurani dengan bijaksana memperlakukanku sebagaimana aku memperlakukan siapa-siapa yang mempunyai masalah yang serupa dan curhat kepadaku. Ibaratnya, saya kena batunya atau dengan kata lain ‘senjata makan tuan’.
Wanita yang akan kamu pilih itu milik siapa? Milik Allah, ‘kan!”. Hati nurani bertanya dan aku hanya mengangguk.
Makanya, minta saja pada Allah. Tanyalah pada Allah, apakah dia yang terbaik buat kamu? Mengadulah pada Allah, apakah dia pasangan di dunia dan di akhiratmu? Memohonlah pada Allah, apakah dia akan mendukung dakwahmu memperjuangkan agama dan menegakkan syari’ah-Nya? Lalu, serahkanlah semuanya pada Allah, karena Allah Maha Lebih Tahu apa yang terbaik buatmu daripada dirimu sendiri.” Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk dan diam sejuta bahasa mendengar petuah Hati Nurani. Lalu Hati Nurani menuntunku berdoa…
Yaa Allah, Yaa Ilahi…
Engkaulah Pemilik wanita yang akan daku pilih,
Engkaulah Penggenggam hatinya,
Engkaulah yang mampu membuka pintu hatinya.
Yaa Allah, daku hendak menjadikan dia teman dakwahku.
Seperti halnya Khadijah terhadap rasul-Mu.
Daku ingin menikahinya, tapi daku tak tahu siapa dia.

Yaa Allah, Yaa Rabbi…
Seandainya permohonanku ini terbaik buatku di sisi-Mu,
Tunjukkanlah caranya, cara bagaimana daku boleh mengenali dirinya.
Engkau sediakanlah jalan-jalan ke arah untuk mengenali dirinya.
Tetapi, jikalau permohonan ini bukan yang terbaik buatku di sisi-Mu,
Maka hilangkanlah rasa ingin hidup bersama dengannya.
Kau lenyapkanlah bayangan dirinya dalam pikiranku.
Dan gantikanlah dengan wanita yang lain, yang terbaik buatku di mata-Mu.
Amiin… Yaa rabbal ‘alamiin…

Hati Nurani berkata lagi, “Jikalau Allah mengabulkan doamu, pasti Allah akan tunjukkan jalan-jalan untuk mengenali wanita tersebut. Ada saja jalan yang Allah wujudkan agar kamu berdua dapat berkenalan. Dan jikalau memang jodoh, pasti urusannya diberi kemudahan dan kelancaran bahkan kebrkahan dan keridhaan, meski harus menghadapi tantangan karena hal itu adalah sebuah proses pendewasaan. Yang jelas hati harus yakin bahwa Allah akan menolong jikalau kita memohon kepada-Nya.

Dan jikalau yang didapat tidak sesuai dengan yang kita harapkan, jangan putus asa. Bukankah semua itu hasil dari doa kita yang mengatakan bahwa kalau dia yang terbaik, kabulkan doa kita, kalau bukan yang terbaik, jangan dikabulkan. Semua pilihan serahkan sepenuhnya kepada Allah. Biarlah Dia sendiri yang memberikan petunjuk agung-Nya terhadap pilihan yang terbaik karena kita tidak tahu yang mana yang paling terbaik di sisi Allah buat kita.
Dan… Apapun yang terjadi setelah kita memilih melalui istikharah kita, percayalah itulah yang terbaik di sisi Allah buat kita karena kita telah berdoa dan bermunajat memohon petunjuk dari-Nya. Inilah maksud dari firman Allah bahwa setiap permohonan pasti dikabulkan oleh Allah. Maka meskipun sesuatu itu buruk dari pandangan kita, insyaAllah pasti banyak kebaikan di ujungnya. Inilah hebatnya Islam yang mengatur hidup dan kehidupan kita dengan begitu sempurnanya, lalu nikmat Tuhan manakah yang masih berani kita dustakan? Give thank’s to Allah, Allahu Akbar…



PERAN GURU DALAM MEMBANGUN KEJUJURAN AKADEMIK


Baca judul di atas kok  jadi ingat masa-masa perjuangan dalam menyusun skripsi dulu ya, yang setiap pilihan katanya harus bisa diuraikan dengan jelas dan harus dipertanggungjawabkan betul di hadapan tim penguji, hmm... Namun kali ini saya tidak sedang menyusun sebuah skripsi, tesis, desertasi, ataupun karya ilmiah sejenisnya. Di sini saya hanya mencoba untuk mengungkapkan apa yang selama ini mengusik hati saya dalam menjalankan amanah sebagai seorang pendidik. Keseluruhan dari tulisan ini sesungguhnya saya tujukan buat diri saya pribadi sebagai upaya introspeksi dan perbaikan diri dalam menjalankan amanah yang mulia namun teramat berat pertanggung jawabannya kelak. Ya..amat berat pertanggung jawabannya...
Entah seperti apa rumitnya pertanyaan di yaumil hisab nanti bagi para guru, sebab tanpa disadari para guru telah memposisikan dirinya sebagai agen berubahan dan perbaikan umat yang misi utamanya adalah melahirkan generasi berkualitas, baik secara ruhiyah, fikriyah maupun jismiyah, tidak beda jauh lah sama misi para Rasul, bahkan bisa jadi para guru ini merupakan bagian dari mereka yang disebut sebagai “waratsatul anbiya’” alias para pewaris misi kenabian.
Misi utama inilah yang kelak harus dipertanggung jawabkan oleh setiap guru tanpa membedakan apakah ia guru olah raga, guru matematika, guru seni, guru IPA, terlebih lagi guru agama. Selama ia berstatus sebagai “guru” maka ia harus siap untuk menjadikan dirinya sebagai pribadi yang bisa ‘digugu lan ditiru’(bisa dipercaya dan layak jadi teladan). Seberapa banyak jumlah alumni yang telah kita luluskan, maka sejumlah itu pula yang harus kita pertanggung jawabkan kelak di hadapan Allah SWT. Bukankah setiap perbuatan akan ada pertanggung jawabannya meskipun itu seberat biji sawi?  Nah lho, berat amat kan pertanggung jawaban seorang guru..!!!

Oke, sekarang kita masuk ke inti pembahasan...
Sebenarnya tanpa diuraikan panjang lebar dan tanpa harus ‘menjelentrehkan’ berbagai teori pendidikan mutakhir maupun tulisan-tulisan para pakar pendidikan, saya yakin pembaca sudah bisa mengambil kesimpulan dari isi tulisan ini nanti, bahkan mungkin pembaca akan serempak menganggukkan kepala seandainya saya katakan bahwa “Guru Adalah Aktor Utama Dalam Membangun Kejujuran Akademik di Sekolah”. (emangnya yang baca berapa orang sih, maksa amat).
Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa dalam membentuk karakter peserta didik di sekolah guru menempati posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru adalah orang yang paling sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan peserta didik di sekolah. Guru juga merupakan sosok yang setiap sikap, ucapan dan perilakuanya akan terekam secara otomatis dalam memori siswanya. Oleh karenanya guru harus bisa  menampilkan diri sebagai teladan dan idola bagi peserta didik serta bisa menjadi sumber inpirasi dan motivasi. Sikap dan perilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga setiap ucapan, tindakan dan kepribadian guru secara otomatis akan menjadi cermin bagi siswanya. Bahkan untuk anak-anak usia Sekolah Dasar ada kecenderungan lebih mendengarkan gurunya dari pada orang tuanya sendiri.
Dengan demikian, guru memiliki peran sekaligus tanggung jawab yang besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, bermoral dan tentunya beraqidah lurus dan kuat. Tugas mulia ini bukanlah tugas ringan yang cukup dibebankan pada beberapa guru saja tanpa melibatkan yang lain, namun ini adalah tugas berat yang membutuhkan perencanaan, proses berkesinambungan, dan pengkondisian lingkungan yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam satu kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis. Artinya... kalau kita mengharapkan ‘kehadiran budaya jujur’ di lingkungan sekolah yang tentunya juga kita harapkan akan berimbas pada perilaku siswa di tengah masyarakat, maka sekolah kita harus dibangun di atas sistem yang jujur dan dijalankan secara jujur oleh orang-orang yang berkarakter jujur. Dan yang terpenting, ini harus muncul dari ‘kesadaran personal’ setiap guru, sebab segala sesuatu yang lahir dari sebuah kesadaran, ketulusan dan keikhlasan akan lebih kuat dampaknya dari pada sesuatu yang dibuat-buat atau direkayasa. Dan memang sebuah kejujuran tidak akan mungkin dibangun dengan mengkhianati kejujuran itu sendiri. Kejujuran hanya bisa dibangun di atas ketulusan dan keikhlasan yang tercermin dalam sikap, perkataan dan perilaku keseharian baik saat sendiri maupun di hadapan banyak orang. Bagaimana mungkin seorang guru akan menuntut siswanya jujur sementara ia sendiri gemar berdusta. Bagaimana guru menuntut siswanya disiplin, bertanggung jawab, menghargai sesama, peduli, empati, sementara sifat-sifat ini terasa asing bagi siswa karena apa yang ia lihat dari sang guru justru sebaliknya. Maka mustahil kita akan menciptakan budaya jujur jika kita para guru selaku aktor utama belum membudayakannya pada perilaku keseharian.
Udah deh..., saya kira dari sini saja sudah cukup kok kita ngomongin soal peran guru dalam membentuk karakter siswa.
Yang terpenting bagi kita para guru, perlu kiranya sejenak kita merenung dan bertanya pada diri sendiri; hingga detik ini sudah sejauh mana kita menyadari akan amanah mulia ini?. Pernahkan kita secara sadar menata niat saat akan berangkat ke sekolah dengan ungkapan “Bismillah, saya akan menunaikan amanah saya untuk mendidik anak-anak saya menjadi pribadi yang baik”? atau ungkapan semisalnya. Kita tidak pernah tau kapan kita akan menghadap Allah, namun kira-kira jawaban apa yang akan kita sampaiakan di saat hari penghisaban kelak?. Apakah hanya karena kita bukan guru agama kemudian kita akan terbebas dari tanggung jawab ini?. Sudahkah sikap, tutur kata, dan perilaku kita layak diteladani siswa-siswi kita?. Atau... jangan-jangan siswa kita menjadi susah diarahkan karena meniru sikap kita, menjadi pembohong karena mencontoh ucapan kita, bahkan menjadi pecundang karena terinspirasi perilaku kita? Na’udzubillah tsumma na’udzubillahi min dzalik...
Salam ta’dhim dan salut buat guru-guru kita dulu, atau setidaknya guru saya lah, mungkin pembaca pengalamannya tidak sama dengan yang saya alami waktu di Madrasah Ibtidaiyah(MI) dulu. Kalau ditinjau dari teori pendidikan atupun teori psikologi mungkin pengajaran yang diterapkan oleh guru saya dulu dianggap salah. Bayangkan saja, ndak di sekolah ndak di langgar(kebetulan guru-guru MI kebanyakan juga guru ngaji) beliau tidak pernah lupa dengan ‘senjata’ andalannya yakni sebilah rotan. Tidak jarang di antara kami para muridnya, berangkat sekolah kaki dalam keadaan mulus tapi pulangnya udah babak belur penuh dengan batik motif garis-garis dengan warna merah kebiru-biruan. Hampir pasti tidak ada satupun pelanggaran yang tidak berbuah cambukan. Jangankan pelanggaran-pelanggaran berat seperti ngomong kotor, berkelahi, tidak mengerjakan PR atau mbolos tanpa alasan, saya yang sudah mati-matian berusaha menghafal tashrif istilahy semalaman pun masih dapat bonus rotan karena pas di kelas hafalan saya tidak lancar. Bagi saya waktu itu pelajaran shorof adalah pelajaran yang paling menjenuhkan, tiap hari hafalan melulu sementara saya ndak pernah faham buat apa sih ilmu shorof itu, masak tiap pelajaran mesti hafalan melulu..???  maklum, memang di MI belum diajarkan secara detail mengenai ilmu shorof. Namun demikian saya dan teman-teman tetap berusaha menghafal sebisa mungkin kalau tidak ingin disambar rotannya pak guru. Ngeri kan..??
Tapi hebatnya, waktu itu tidak ada satu pun orang tua yang komplain apalagi menuntut guru di pengadilan atas perlakuan “kasar”nya. Mungkin karena sama-sama ikhlas kali ya.. yang ngajar niatnya tulus karena panggilan jiwa, orang tua percaya sepenuhnya pada guru, anak-anak pun bersemangat meski ada yang menempuh perjalanan berkilo-kilometer dengan perlengkapan belajar yang jauh dari layak. Begitu juga dengan saya, tidak ada sedikitpun di hati ini rasa benci apalagi dendam sama guru saya. Memang waktu itu saya dan mungkin juga teman-teman yang lain merasa takut tapi sama sekali tidak benci, bahkan nasehat-nasehat guru MI saya begitu kuat membekas dan sangat berkesan. Apalagi sekarang setelah saya menjadi guru, sungguh hanya ucapan syukur, rasa bangga, salut, dan ta’dhim setiap kali mengenang guru-guru MI saya dulu yang beberapa di antara beliau telah menghadap Allah SWT. Sekalipun guru-guru dulu mendidik dengan “kekerasan” namun jujur saya akui, dari sikap beliau lah saya faham akan arti kedisiplinan, pentingnya menjalankan sebuah amanah, menepati janji, siap menghadapi resiko akibat perbuatan sendiri, dan bagaimana kita bisa menempatkan diri serta menghargai orang lain terutama kepada yang lebih tua. Dan satu hal yang tak pernah terlewatkan, nilai-nilai aqidah selalu beliau tanamkan di setiap pembelajaran bahkan di saat beliau marah atau memberikan hukuman. Sekalipun saya tidak suka dengan sambaran rotannya namun saya sangat kagum dengan karakternya, ketegasannya, kedisiplinannya, kejujurannya serta keteladanan yang sehari-hari saya saksikan bukan hanya ketika di sekolah namun juga ketika di langgar, di rumah, di tengah masyarakat, bahkan ketika di sawah sekalipun. Beliau-beliau ini tidak hanya menjadi guru saat di sekolah namun juga menjadi guru di tengah masyarakat sehingga tak satupun warga kampung yang memanggil nama beliau tanpa menyematkan kata ”pak guru”. Sungguh, sekalipun kesejahteraan guru saat itu jauh dari layak namun profesi guru menempati posisi yang amat dimuliakan, bukan karena gelarnya, bukan karena kekayaannya namun karena kekuatan karakternya. Setiap nasehatnya akan didengar dan ditaati dengan penuh kesungguhan oleh murid-muridnya. Ini semua tiada lain karena apa yang dinasehatkan oleh guru, maka seperti itu pula yang disaksikan oleh murid pada diri gurunya tersebut.
Nah, sekarang coba kita bandingin dengan kita guru sekarang, sudahkah seperti itu...???
Sorry ya kalau ada yang tersinggung... bukan bermaksud meragukan guru sekarang, saya yakin teman-teman guru sekarang banyak yang lebih baik dan lebih profesional dari guru-guru dulu, apalagi sekarang kan guru-guru sudah banyak yang mendapat pengakuan dari pemerintah dengan sertifikat resmi sebagai "guru profesional".
Saya hanya ingin menekankan bahwa seiring meningkatnya pendidikan dan pengetahuan guru-guru sekarang serta banyaknya teori-teori pendidikan muttakhir yang variatif, kreatif, inovatif dan inspiratif harusnya menjadikan pendidikan kita lebih baik dan semakin kebih baik lagi. Tentunya baik di sini bukan sekedar dari sisi nilai akademik semata. Jauh lebih penting, yaitu bagaimana sekolah kita mampu mendidik para siswa menjadi manusia yang humanis dan berkarakter, dan ini harus kita mulai dari diri kita. Yakin deh, kalau semua kita lakukan dengan jujur, ikhlas, kita mulai dari diri kita, maka anak-anak pun akan dengan mudah menerima setiap ucapan kita dan tanpa sadar akan meniru perilaku positif kita.
Semoga apa yang saya tulis ini bisa sedikit menambah nilai kebaikan dan membawa perbaikan untuk diri saya pribadi, syukur-syukur kalau juga bisa bermanfaat bagi para pembaca khususnya saudara-saudaraku para guru. Jika ada yang kurang berkenan mohon arahan dan bimbingannya. Komentar2 positif anda sangat kami harapkan..

Sukses buat kita semua, insyaallah..!!!

Cairan hangat berlinang melewati wajahku, menitik di atas kamera yang sedang kutenteng. Aku meraba keningku tepatnya sebelah kiri di dekat pelipisku, perih menggigit. Aku sempoyongan. Aku butuh pertolongan segera. Percuma aku berdebat dengan mereka sejak tadi dan ternyata ini yang mereka perbuat padaku.
Aku ingin protes, ingin juga melayangkan pukulanku pada mereka karena marah, tapi keributan di ujung jalan ini tidak mendukungku, orang-orang berpakaian militer itu ribut dan saling dorong-mendorong dengan warga sipil yang sebagian besar adalah lelaki dewasa yang baru saja usai Shalat Zhuhur bersamaku. Ditambah lagi perlakuan tentara itu padaku membuat para lelaki dewasa itu naik darah.
Aku limbung, membungkuk dan membiarkan tanganku menopang lutut agar tidak jatuh. Abu Haidar berlari dari seberang jalan menuju tempatku berjongkok tak seimbang. Dia Menerobos keributan jeruji manusia yang mulai rusuh penuh teriakan. Diambilnya kamera dari tanganku dan berusaha membopongku bangun.
“Kau terluka Abdi, kau harus diobati.” Begitu ucapnya dalam bahasa inggris yang bercampur kental dengan aksen Arab.
Aku berusaha tegak dan lepas dari bopongan tangannya. Kuraih kamera kesayanganku, merogoh sebuah sapu tangan cokelat lusuh untuk membersihkan titikan darah di atasnya. Kucoba pula menyeka wajahku. Abu Haidar meringis ngeri melihatku karena cairan kental itu justru merembes ke kerah bajuku dan sekitar wajahku. Aku terus menyekanya.
“Kau harus diobati Abdi! Segera!” Sekali lagi lelaki berkepala empat itu mencoba menopangku sepertinya ingin membawaku menyingkir dari tempat itu. Tapi kupaksa mengangkat kamera ke pundakku dan menyorotkan lensanya ke arah keributan itu. Menentukan fokus.
Seorang tentara bertubuh tinggi menunjuk tajam kearahku, ia menyingkap Abu Haidar dari hadapanku dengan kasar, dia menuju ke arahku. Matanya yang tajam seperti elang bertaut seperti hendak memangsaku. “Wartawan sialan, bosan hidup!” Hentakan tangannya membuat kamera di bahuku oleng. Tenaganya menohok tubuhku limbung ke belakang, aku hampir kehilangan keseimbangan.
“Kau mau mati Hah! Mau mati!” itu kalimat yang diulang-ulangnya dengan suara berat. Aku bertahan sambil memasang wajah tegas, walaupun perih masih terasa. Entah ceracau apa lagi yang keluar dari mulutnya, tidak jelas bagiku. Bahasa Ibrani belum pernah kupelajari. Sedang aku hanya menggerutukkan gigiku yang bersembunyi di balik rahang, sedikit bergumam membuatnya kesal.
DORRR!
Apa itu!?
Segera saja pandanganku melintasi bahu tentara garang itu. Biadab! Seenaknya mereka melepas tembakan pada warga sipil. Seorang lelaki terkapar, mengerang sakit, kakinya tertembus timah panas! Kuangkat kameraku. Namun belum sempat kuaktifkan, Sialan! Popor senapan itu menghantam tanganku. Kamera itu terlepas dan jatuh pasrah, aku tidak akan memaafkan hal yang dilakukannya dalam waktu sekejap itu.
Akan kuingat, sepatunya menendang kasar melontarkan kamera itu tiga meter dariku. Direngkuhnya kerah bajuku, dengan dialek Arab yang kasar dia menyumpahiku. Aku melawan dan ini menjadi awal perubahan dalam garis hidupku, suatu perubahan yang berarti.


Ya Allah, jika aku jatuh cinta,
cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu,
agar bertambah kekuatan ku untuk mencintai-Mu.
Ya Muhaimin, jika aku jatuh cinta,
jagalah cintaku padanya agar tidak melebihi cintaku pada-Mu
Ya Allah, jika aku jatuh hati,
izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-Mu,
agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta semu.
Ya Rabbana, jika aku jatuh hati,
jagalah hatiku padanya agar tidak berpaling dari hati-Mu.
Ya Rabbul Izzati, jika aku rindu,
rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu.
Ya Allah, jika aku rindu,
jagalah rinduku padanya agar tidak lalai aku merindukan syurga-Mu.
Ya Allah, jika aku menikmati cinta kekasih-Mu,
janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhirmu.
Ya Allah, jika aku jatuh hati pada kekasih-Mu,
jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepada-Mu.
Ya Allah, jika Kau halalkan aku merindui kekasih-Mu,
jangan biarkan aku melampaui batas sehingga melupakan aku pada cinta hakiki dan rindu abadi hanya kepada-Mu.
Ya Allah Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa pada taat pada-Mu, telah bersatu dalam dakwah pada-MU, telah berpadu dalam membela syariat-Mu.
Kukuhkanlah Ya Allah ikatannya.
Kekalkanlah cintanya.
Tunjukilah jalan-jalannya.
Penuhilah hati-hati ini dengan Nur-Mu yang tiada pernah pudar.
Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan bertawakal di jalan-Mu.

(As-Syahid Sayyid Qutb)
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan kepadaMu dengan ilmuMu, dan aku memohon kemampuan kepadaMu dengan kekuasaanMu, dan aku memohon sebagian dari karuniaMu yang agung. Karena sesungguhnya Engkaulah yang berkuasa sedang aku tidak berkuasa. Engkaulah yang mengetahui sedang aku tidak mengetahui, dan Engkaulah yang Maha Mengetahui perkara-perkara gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa hal ini baik bagiku dalam agamaku dan kehidupanku serta akibat urusanku, maka tentukanlah ia untukku dan mudahkanlah ia bagiku, kemudian berilah aku berkah padanya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa hal itu jelek bagiku dalam agamaku dan kehidupanku serta akibat urusanku, maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya, dan tentukanlah untukku kebaikan di mana saja ia berada, kemudian jadikanlah aku ridho kepadanya (Doa Istikharah yang dianjuran Rasulullah SAW : Hadis Bukhari)
Jika ada manusia belum hidup bersama pasangannya, berarti hidupnya akan timpang dan tidak berjalan sesuai dengan ketetapan Allah SWT dan orang yang menikah berarti melengkapi agamanya, sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa diberi Allah seorang istri yang sholihah, sesungguhnya telah ditolong separoh agamanya. Dan hendaklah bertaqwa kepada Allah separoh lainnya.” (HR. Baihaqi).
Dari Amr Ibnu As, Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya ialah wanita shalihah.(HR. Muslim, Ibnu Majah dan An Nasai).
“Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim) :
a. Orang yang berjihad / berperang di jalan Allah.
b. Budak yang menebus dirinya dari tuannya.
c. Pemuda / i yang menikah karena mau menjauhkan dirinya dari yang haram.”

“Wahai generasi muda ! Bila diantaramu sudah mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud).
Rasulullah SAW. bersabda : “Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah” (HR. Bukhari).
“Barang siapa yang menikahi seorang wanita karena kemuliaannya, maka Allah tidak akan menambahkan kepadanya selain dari pada kehinaan. Barangsiapa menikah karena hartanya, maka Allah tidak akan menambahkan kepadanya selain dari pada kemiskinan, barang siapa menikah karena kedudukannya, maka Allah tidak akan menambahkan kepadanya selain dari pada kerendahan. Dan barang siapa menikahi seorang wanita hanya karena ia menginginkan dengan wanita itu untuk menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya atau menyambungkan ikatan kekeluargaannya, maka Allah akan memberkahinya pada wanita itu dan akan memberkahi wanita itu padanya.” ( HR. Ath-Thabrani )
Rabbi
Jika cintaku Kau ciptakan untuk dia
tabahkan hatinya
teguhkan imannya
sucikan cintanya
lembutkan rindunya

Rabbi....
Jika hatiku Kau ciptakan untuk dia
penuhi hatinya dengan Kasih-MU
terangi langkahnya dengan Nur-MU
bisikkan kedamaian dalam kegalauan
temani dia dalam kesepian

Rabbi...
kutitipkan cintaku pada-MU untuknya
resapkan rinduku pada rindunya
mekarkan cintaku bersama cintanya
satukan hidupku dan hidupnya
dalam cinta-MU
sebab, sungguh aku mencintainya karena-MU...

......teruntuk yang ku kasihi karena MU.....


Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-2 saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-2 sensitif. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan. Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.
Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.

"Mengapa?", dia bertanya dengan terkejut.

"Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan"
Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.

Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya?

Akhirnya dia bertanya,: "Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiranmu?".

Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan,: "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam hati saya, saya akan merubah pikiran saya : “Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati, Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?"

Dia termenung dan akhirnya berkata, "Saya akan memberikan jawabannya besok."

Hati saya langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-2an tangannya dibawah sebuah gelas yang bertuliskan. ...

"Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya... "

Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya melanjutkan untuk membacanya.

"Kamu bisa mengetik di komputer namun selalu mengacaukan program di PC-nya dan akhirnya menangis di depan monitor, saya harus memberikan jari-2 saya supaya bisa membantumu dan memperbaiki programnya."

"Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan saya harus memberikan kaki saya supaya bisa mendobrak pintu, dan membukakan pintu untukmu ketika pulang."

"Kamu suka jalan-2 ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi, saya harus menunggu di rumah agar bisa memberikan mata saya untuk mengarahkanmu. "

"Kamu selalu pegal-2 pada waktu ’teman baikmu’ datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal."

"Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi ’aneh’. Dan harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang aku alami."

"Kamu selalu menatap komputermu, membaca buku dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu, saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu."

"Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-2 bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu".

"Tetapi sayangku, saya tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air matamu mengalir menangisi kematianku."
"Sayangku, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih dari saya mencintaimu. "

"Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku, mataku, tidak cukup bagimu. Aku tidak bisa menahan dirimu mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakanmu. "


Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk membacanya.

"Dan sekarang, sayangku, kamu telah selasai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri disana menunggu jawabanmu."

"Jika kamu tidak puas, sayangku, biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku, dan aku tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, bahagiaku bila kau bahagia.".


Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku.

Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintaiku.

Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari hati kita karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.
(renungan n kisah inspiratif)

Ahlan Wa Sahlan

blog ini hanyalah sarana untuk renungan, introspeksi, dan motivasi diri. jika berkenan silahkan anda membaca atau mengcopy.

Dan jika tidak keberatan mohon beri komentar/saran/masukan.

Terima Kasih Telah Berkenan Bersilaturrahim Melalui Blog ini


merenunglah sejenak, untuk melunakkan hati dan menjernihkan fikiran...!!!

pembacaku

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Produk imoet buat si kecil