c@k Ain

"Renungan Pembangun Jiwa"


Bermainlah anakku, karena bermain adalah tabiatmu. Allah telah menjadikannya sebagai suatu naluri pada dirimu. Bermainlah wahai anakku, maka jasmanimu akan tumbuh dengan kuat secara alami...
Masa kanak-kanakmu adalah periode terpanjang yang kau lalui dalam kehidupan ini. Pertumbuhan otot hdan tulang serta pertumbuhan jasmanimu seutuhnya adalah pada periode ini. Sesudah periode ini, tubuhmu akan sulit sekali untuk berkembang atau ditingkatkan kepada yang lebih baik lagi.

Ayah dan bunda memahami betul bahwa bermain amatlah berguna bagi pembinaan jasmani bahkan ruhanimu. Kami ingat nasehat dari Imam Al-Ghazali yang mengatakan: “Setelah selesai belajar anak seyogyanya bermain dengan permainan yang baik yang bisa menghilangkan kepenatan selama belajar atau mengaji. Namun jangan sampai bermain hingga kelelahan. Melarang anak untuk bermain dan memsaksanya untuk terus belajar justru akan mematikan hati, menghilangkan kecerdasan, dan mengeruhkan hidup sehingga harus dicarikan solusi untuk bisa lepas darinya.”
Karena itu, bermainlah sayang...

Ayah dan bunda memahami bahwa jika kami sampai tidak memberi kesempatan padamu untuk bermain atau berolahraga, maka akan berdampak buruk pada perkembangan jasmanimu. Fisikmu akan menjadi lemah serta terjadi gangguan psikologis. Padahal beban-beban syara’ telah menunggumu tatkala engkau memasuki masa baligh.
Ketika itu, engkau akan meninggalkan masa kanak-kanakmu serta menyongsong periode baru dalam kehidupanmu. Sejak saat itu engkau akan dihisab atas dosa-dosamu, dan pena pun mulai menuliskan segala perkataan maupun perbuatanmu. Sejak saat itu sudah tidak dibenarkan lagi engkau bermain-main dalam hidupmu karena semuanya kelak akan dipertanyakan oleh tuhanmu.

Beban-beban tersebut tentu membutuhkan pembinaan yang kuat serta membutuhkan jasmani yang terlatih. Sholat, puasa, haji dan jihad merupakan pilar-pilar yang mendasar bagi agama ini yang membutuhkan seorang mukmin yang kuat. Ayah dan bunda menyadari ini semua, karena itu kami terus mengupayakan cara-cara terbaik yang bisa kami lakukan untuk menguatkan jasmanimu.

Kami selalu ingat nasehat Rasulullah SAW yang bersabda: “Ajarilah anak-anak kalian untuk berenang, memanah, dan berkuda secara lincah”. Rasulullah SAW bersabda demikian tentu karena beliau memahami bahwa pendidikan jasmani mempunyai peran tersendiri dalam kehidupan anak pada masa sekarang maupun yang akan datang. Di samping itu, ia juga mempunyai peran yang sangat  besar dalam melahirkan rasa percaya diri anak. Ketiga jenis pelatihan jasmani ini sulit untuk dipelajari ketika sudah dewasa. Ini menunjukkan keseriusan Nabi SAW dalam mendidik anak untuk mengolah jasmani mereka. Beliau juga memotivasi anak-anak untuk belajar memanah dan menombak.

Karena itu, di hari minggu yang cerah ini ayah dan bunda akan mengajakmu ke kolam renang. Bunda telah membelikan pelampung dengan warna kesukaanmu, dan ayah sendiri yang akan mengajarimu nanti. Kita akan belajar bersama di kolam renang yang memang dirancang untuk anak seusiamu.
Adapun untuk belajar berkuda, mungkin saat ini sepeda roda tiga yang kami belikan sejak usiamu genap 1 tahun itu bisa menjadi alternatif penggantinya. Dengan demikian engkau bisa belajar mengayuh dan melatih kekuatan otot-otot kakimu. Insyaallah, kelak jika engkau agak besar ayah akan membelikanmu sepeda roda dua, jadi selain belajar mengayuh engkau pun akan belajar melatih keseimbanganmu. Untuk belajar bersepeda ini kita akan mengagendakan waktu khusus saat liburan sekolahmu nanti.
Untuk belajar memanah, ayah sengaja membuatnya sendiri karena memang bahannya cukup sederhana dan ayah pun dulu sering membuatnya sendiri ketika masih kecil. Engkau bisa berlatih memanah kapanpun di halaman belakang. Kami sengaja merancang arena memanah ini di halaman belakang dan tidak membiarkanmu menggunakannya di luar, sebab jika engkau salah mengarahkan ini bisa melukai dan mencelakai orang lain.

Oh ya sayang, perlu kami ingatkan agar engkau masuk ke dalam rumah sebelum maghrib sebagai batas akhir waktu bermainmu. Sebab kata Rasulullah SAW ketika itu syetan-syetan berkeliaran di jalan.

Bermainlah anakku...
Karena ayah dan bunda memahami, permainan bagimu adalah sebuah aktifitas yang penting sekali. Tak seperti orang dewasa yang hanya menjadikannya sebagai pengisi waktu luang saja. Dengan bermain, ayah-bunda yakin mentalmu akan berkembang dengan baik dan jasmanimu akan menjadi kuat.

Bermainlah anakku...
Karena bermain juga akan mewujudkan integritas antara tugas-tugas sosial kemasyarakatan, emosional, dan mentalitasmu. Dengan bermain kamu juga berlatih untuk berfikir, memecahkan persoalan, serta cepat berinisiatif.
Dengan memberimu kebebasan untuk bermain, ayah dan bunda berharap engkau akan mencapai puncak potensi kematangan. Ayah dan bunda akan membimbingmu saat bermain, bahkan kami akan turut bermain bersamamu.

Bermainlah anakku...
Karena saat bermain engkau akan mengulang kembali pengalaman-pengalamanmu yang terdahulu sehingga engkau menampungnya dan kemudian hal itu akan menjadi bagian dari kepribadianmu.
Permainan yang engkau mainkan saat ini akan menyiapkanmu untuk bisa menyesuaikan diri di masa depanmu nanti. Yaitu melalui jawaban-jawaban baru yang bisa kamu kemukaan pada saat kamu bermain.

Bermainlah anakku...
Karena bermain adalah hakmu. Bermain bukanlah sesuatu yang menyia-nyiakan waktu, ia sangat berguna untuk memaksimalkan potensimu...


By: Hani (NH)


Said bin Umar al Jumahi, termasuk seorang pemuda di antara ribuan orang yang pergi ke Tan’im, di luar kota Makkah. Mereka berbondong-bondong ke sana, dikerahkan para pemimpin kafir Quraisy untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman mati terhadap Khubaib bin Adi, yaitu seorang sahabat Nabi yang mereka hukum tanpa alasan.
Dengan semangat muda yang menyala-nyala, Said maju menerobos orang banyak yang berdesak-desakan. Akhirnya dia sampai ke depan, sejajar dengan tempat duduk orang-orang penting, seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayah dan lain-lain.
Kaum kafir Quraisy sengaja mempertontonkan tawanan mereka dibelenggu. Sementara para wanita, anak-anak dan pemuda, menggiring Khubaib ke lapangan maut. Mereka ingin membalas dendam terhadap Nabi Muhammad saw, serta melampiaskan sakit hati atas kekalahan mereka dalam perang Badar.
Ketika tawanan yang mereka giring sampai ke tiang salib yang telah disediakan, Said mendongakkan kepala melihat kepada Khubaib bin Adi. Said mendengar suara Khubaib berkata dengan mantap, ”Jika kalian bolehkan, saya ingin shalat dua rakaat sebelum saya kalian bunuh…”
Kemudian Said melihat Khubaib menghadap ke kiblat (Ka’bah). Dia shalat dua rakaat. Alangkah bagus dan sempurnanya shalatnya itu. Sesudah shalat, Khubaib menghadap kepada para pemimpin Quraisy seraya berkata, ”Demi Allah! Seandainya kalian tidak akan menuduhku melama-lamakan shalat untuk mengulur-ngulur waktu karena takut mati, niscaya saya akan shalat lagi.” Mendengar ucapan Khubaib tersebut, Said melihat para pemimpin Quraisy naik darah, bagaikan hendak mencincang-cincang tubuh Khubaib hidup-hidup.
Kata mereka, ”Sukakah engkau jika Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami bebaskan?”
Saya tidak ingin bersenang-senang dengan istri dan anak-anak saya, sementara Muhammad tertusuk duri,” jawab Khubaib mantap.
Bunuh dia! Bunuh dia!” teriak orang banyak. Said melihat Khubaib telah dipakukan ke tiang salib. Dia mengarahkan pandangannya ke langit sambil berdoa,”Ya Allah! Hitunglah jumlah mereka! Hancurkan mereka semua. Jangan disisakan seorang jua pun!
Tidak lama kemudian Khubaib menghembuskan nafasnya yang terakhir di tiang salib. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka-luka karena tebasan pedang dan tikaman tombak yang tak terbilang jumlahnya.
Kaum Kafir Quraisy kembali ke Makkah biasa-biasa saja. Seolah-olah mereka telah melupakan peristiwa maut yang merenggut jiwa Khubaib dengan sadis. Tetapi Said bin Amir al Jumahi yang baru meningkat remaja tidak dapat melupakan Khubaib walau ‘sedetikpun’. Sehingga dia bermimpi melihat Khubaib menjelma dihadapannya. Dia seakan-akan melihat Khubaib menjelma di hadapannya. Dia seakan-akan melihat Khubaib shalat dua rakaat dengan khusyu’ dan tenang di bawah tiang salib. Seperti terdengar olehnya rintihan suara Khubaib mendoakan kaum kafir Quraisy. Karena itu Said ketakutan kalau-kalau Allah SWT segera mengabulkan doa Khubaib, sehingga petir dan halilintar menyambar kaum Quraisy.
Keberanian dan ketabahan Khubaib menghadapi maut mengajarkan Said beberapa hal yang belum pernah diketahuinya selama ini.
Pertama, hidup yang sesungguhnya adalah hidup beraqidah, beriman, kemudian berjuang mempertahankan aqidah itu sampai mati.
Kedua, iman yang telah terhunjam di hati seseorang dapat menimbulkan hal-hal yang ajaib dan luar biasa.
Ketiga, orang yang paling dicintai Khubaib ialah sahabatnya, yaitu seorang Nabi yang dikukuhkan dari langit.
Sejak itu Allah SWT membukakan hati Said bin Amir untuk menganut agama Islam. Kemudian dia berpidato di hadapan khalayak ramai, menyatakan: ‘alangkah bodohnya orang Quraisy menyembah berhala’. Karena itu dia tidak mau terlibat dalam kebodohan itu. Lalu dibuangnya berhala-berhala yang dipujanya selama ini. Kemudian diumumkannya, mulai saat itu dia masuk Islam.
Tidak lama sesudah itu, Said menyusul kaum Muslimin hijrah ke Madinah. Di sana dia senantiasa mendampingi Nabi saw. Dia ikut berperang bersama beliau, mula-mula dalam peperangan Khaibar. Kemudian dia selalu turut berperang dalam setiap peperangan berikutnya.
Setelah Nabi saw berpulang ke rahmatullah, Said tetap menjadi pembela setia Khalifah Abu Bakar dan Umar. Dia menjadi teladan satu-satunya bagi orang-orang mukmin yang membeli kehidupan akhirat dengan kehidupan dunia. Dia lebih mengutamakan keridhaan Allah dan pahala daripada-Nya di atas segala keinginan hawa nafsu dan kehendak jasad.
Kedua khalifah Rasulullah, Abu Bakar dan Umar bin Khattab, mengerti bahwa ucapan-ucapan Said sangat berbobot dan taqwanya sangat tinggi. Karena itu keduanya tidak keberatan mendengar dan melaksanakan nasihat-nasihat Said.
Pada suatu hari di awal pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Said datang kepadanya memberi nasihat. Kata Said,”Ya Umar! Takutlah kepada Allah dalam memerintah manusia. Jangan takut kepada manusia dalam menjalankan agama Allah! Jangan berkata berbeda dengan perbuatan. Karena sebaik-baik perkataan ialah yang dibuktikan dengan perbuatan. Hai Umar! Tujukanlah seluruh perhatian Anda kepada urusan kaum Muslimin, baik yang jauh maupun yang dekat. Berikan kepada mereka apa yang Anda dan keluarga sukai. Jauhkan dari mereka apa-apa yang Anda dan keluarga tidak sukai. Arahkan semua karunia Allah kepada yang baik. Jangan hiraukan cacian orang-orang yang suka mencaci.”
Siapakah yang sanggup melaksanakan semua itu, hai Said?” Tanya Khalifah Umar. “Tentu orang seperti Anda! Bukankah Anda telah dipercayai Allah memerintah umat Muhammad ini? Bukankah antara Anda dengan Allah tidak ada lagi suatu penghalang?” jawab Said meyakinkan.
Pada suatu ketika Khalifah Umar memanggil Said untuk diserahi suatu jabatan dalam pemerintahan. “Hai Said! Engkau kami angkat menjadi Gubernur di Himsh!” kata Khalifah Umar.
Wahai Umar! Saya mohon kepada Allah semoga Anda tidak mendorong saya condong kepada dunia,” kata Said.
Celaka engkau!” Balas Umar marah. “Engkau pikulkan beban pemerintahan ini di pundakku, tetapi kemudian engkau menghindar dan membiarkanku repot sendiri.”
Demi Allah! Saya tidak akan membiarkan Anda,” jawab Said.
Kemudian Khalifah Umar melantik Said menjadi gubernur di Himsh. Sesudah pelantikan khalifah Umar bertanya kepada Said, ”Berapa gaji yang Engkau inginkan?
Apa yang harus saya perbuat dengan gaji itu, ya Amirul Mukminin?” jawab Said balik bertanya. “Bukankah penghasilan saya dari Baitul Mal sudah cukup?
Tidak berapa lama setelah Said memerintah di Himsh, sebuah delegasi datang menghadap khalifah Umar di Madinah. Delegasi itu terdiri dari penduduk Himsh yang ditugasi Khalifah mengamat-amati jalannya pemerintahan di Himsh.
Dalam pertemuan dengan delegasi tersebut, Khalifah Umar meminta daftar fakir miskin Himsh untuk diberikan santunan. Delegasi mengajukan daftar yang diminta khalifah. Di dalam daftar tersebut terdapat nama-nama si Fulan yang msauk kaategori fakir miskin.
Ketika Khalifah meneliti daftar tersebut, beliau menemukan nama Said bin Amir al Jumahi. Lalu beliau bertanya, ”Siapa Said bin Amir yang kalian cantumkan ini?
Gubernur kami!” jawab mereka. “Betulkah gubernur kalian miskin?” jawab Khalifah heran.
Sungguh, ya Amirul Mukminin! Demi Allah! Seringkali di rumahnya tidak kelihatan tanda-tanda api menyala (tidak memasak),” jawab mereka meyakinkan.
Mendengar perkataan itu, Khalifah Umar menangis, sehingga air mata beliau meleleh membasahi jenggotnya. Kemudian beliau mengambil sebuah pundit-pundi berisi uang seribu dinar.
Kembalilah kalian ke Himsh. Sampaikan salamku kepada Gubernur Said bin Amir, dan uang ini saya kirimkan untuk beliau, guna meringankan kesulitan-kesulitan rumah tangganya,” ucap Umar sedih.
Setibanya di Himsh, delegasi itu segera menghadap Gubernur Said, menyampaikan salam dan uang kiriman Khalifah untuk beliau. Setelah Gubernur Said melihat pundi-pundi berisi uang dinar, pundi-pundi itu dijauhkannya dari sisinya seraya berucap, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (kita milik Allah dan pasti kembali kepada Allah).
Mendengar ucapannya itu, seolah-olah suatu musibah besar sedang menimpanya. Karena itu istrinya segera menghampiri seraya bertanya, ”Apa yang terjadi, hai Said? Meninggalkah Amirul Mukminin?
Bahkan lebih besar dari itu!” jawab Said sedih. “Apakah tentara kaum Muslimin kalah berperang?” tanya istrinya lagi. “Jauh lebih besar dari itu!” jawab Said tetap sedih. “Apa pulalah gerangan yang lebih dari itu?” tanya istrinya tak sabar. “Dunia telah datang untuk merusak akhiratku. Bencana telah menyusup ke rumah tangga kita,” jawab Said mantap.
Bebaskan dirimu daripadanya!” kata istri Said memberi semangat, tanpa mengetahui perihal adanya pundi-pundi uang yang dikirimkan Khalifah Umar untuk pribadi suaminya.
Maukah engkau menolongku berbuat demikian?” Tanya Said.
Tentu!” jawab istrinya bersemangat. Maka Said mengambil pundi-pundi uang itu, lalu disuruhnya istrinya membagi-bagikan kepada fakir miskin…

(Sumber: Kepahlawanan Dalam Generasi Sahabat Karangan DR. Abdurrahman Raf'at Basya/Nuim Hidayat)

Panggil aku Umar.
       Aku seorang muslim... KTP! Hahaha, aku tak sedang bercanda atau melawak. Aku hanya orang biasa saja, bahkan tak jelas alasan atau arti dari ‘Umar’, nama pemberian ibu dan bapakku ini. Sampai suatu ketika aku baru mengetahui bahwa Umar adalah sebuah nama yang agung.
      Aku menyukai film kolosal, game-game perang dan sedikit tawuran (?). yang terakhir lebih baik jangan ditiru ya! Lalu apa hubungannya dengan Umar?
Semua orang islam tahu Nabi Muhammad, tapi tidak semua tahu tentang Umar. Aku juga awalnya tidak tahu siapa itu Umar? Ketika sorang teman membawa buku 100 tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah karangan Michael H. Hart, aku langsung tertarik. Tapi bukan Rasulullah yang ditempatkan di urutan pertama yang membuatku tertarik. Kenapa? Kan sudah kubilang aku ini muslim... KTP, he!
Justru seseorang yang berada di belakang angka 51, Umar bin Khatab. Bukan karena dia salah satu sahabat dekat rasul, awalnya aku malah ngeblank sama sekali. Karena namanya saja yang sama denganku, Umar, makanya aku tertarik membaca biografinya.
Dan setelah membaca profil Umar, aku semakin tertarik dengan Umar. Karena bagiku Umar benar-benar aku banget, hahaha. Bahasa apaan tuh ya, aku banget? Tak perlu dipermasalahkan soalnya aku juga tak mengerti apa yang kukatakan. Umar seperti cermin diriku 14 abad yang lalu. Dia berwatak keras, dan komitmennya tak bisa diganggu gugat, pembeda antara hak dan batil. Cie, aku banget lah pokoknya. Hahaha!
Dan yang paling aku sukai dari Umar yang dikatakan buku itu adalah Umarlah yang mengawali penyebaran islam ke seluruh dunia. Menaklukan jazirah Arab sampai ke Afrika Utara dan Spanyol sampai ke perbatasan Perancis.
Sumpah deh, keren banget tuh orang ya? Gila, luar biasa deh pokoknya Umar bin Khatab.
Makanya ketika pelajaran BK dengan semangat percaya diri kuberbicara di depan kelas tentang impianku.
“Aku ingin menjadi Khalifah seperti Umar bin Khatab!”
“Hahaha!” Anehnya ada seorang siswa yang tertawa.
Padahal aku tidak sedang ngomik di panggung stand up comedy. Jadi bukan hanya aku, seluruh mata siswa dan Bu guru BK di kelas memandang siswa paling pintar juga ketua Rohis dan pastinya siswa yang paling kubenci, Ayyas.
“Jangan mimpi kamu Mar, zaman kekhilafahan islam sudah berakhir semenjak terbunuhnya Ali bin Abi Thalib. Dan zaman kesultanan islam juga sudah runtuh tahun 1924 di Turki. Umat islam sekarang sudah terpecah lebih dari 50 negara. Jadi udah tidak ada khalifah sekarang!” Jelas Ayyas panjang lebar. Jujur aku tak paham sama sekali dengan semua yang dia katakan. Kekhilafahan, kesultanan, maksudnya?
Aku geleng-geleng kepala, dan melihat Bu Ani guru BK yang sangat agamis dengan jilbab lebarnya.
“Khalifah bukan selalu berarti pemimpin dari kekhilafahan islam, tapi bisa juga dimaknai pemimpin bagi diri sendiri. Masing-masing diri adalah khalifah bagi dirinya sendiri. Dan bukanlah Allah menjadikan kita manusia sebagai khalifah di bumi?” kata Bu Ani.
“Maksudku bukan khalifah bagi diri sendiri, Bu Ani. Tapi aku benar-benar ingin seperti Khalifah Umar bin Khatab yang melakukan serangkaian penaklukan dan menyebarkan islam ke seluruh dunia!” ucapku penuh semangat. Bu Ani hanya tersenyum, dan tawa tak diundang kembali hadir.
“Ah, hahaha! Kan sudah kubilang Mar, kekhilafahan itu sudah musnah, tidak ada. Kalau mimpi jangan ketinggian, jangan bermimpi hal-hal yang utopis deh.”
Aku tersentak, mulutku tercekat. Utopis? Utopia, benarkah bermimpi menjadi seorang khalifah itu tak mungkin dan tak rasional. Memang benar dalam hal agama dan pengetahuan islam aku kalah jauh sama siswa yang dua kali melempar tawa aneh padaku. Tapi benarkah ini impian yang mustahil? Impossible dream? Tak adakah seorang anak muda di dunia ini yang lebih kuat, tegas, pintar pokoknya lebih segalanya dariku memimpikan hal yang sama denganku? Dan apakah dia tetap menganggap impiannya itu hal yang mustahil?
“Utopia” dan “Utopis” setiap waktu muncul bergantian di dalam kepalaku. Kegemaranku untuk menonton film kolosal dan bermain game perang jadi menurun. Apakah ada hubungannya antara pikiran galau dapat menimbulkan penurunan kecanduan main game? Sekali lagi aku tak tahu.
“Kamu kenapa Mar? Kok lesu banget kelihatannya, dari tadi main kalah mulu nanti levelmu turun loh!” kata Dafa teman segameku.
Awalnya aku tak menganggap kata-katanya, tapi semakin lama melihat layar TV 28 inch ini semakin membuatku muak. “Udahan dulu ah, Dafa. Hari ini aku lagi malas banget nih!” kusimpan joystick yang sudah sangat akrab dengan kedua tanganku dan pergi dari rental playstation.
“Masih sejam lagi loh Mar, beneran mau udahan aja?”
“Ya udah. Kamu lanjutin aja deh sendiri. Biar biaya rentalnya aku yang bayar.” Aku tak berhasrat mendengar ocehan Dafa. Setelah membayar aku keluar rental tanpa arah.
Lalu aku langsung duduk sejenak di warung sebelah rental PS untuk menghisap sebatang rokok kretek ditemani dengan minuman energi botolan.
“Hah, aku mau ngapian ya sebenarnya? Dua hal yang paling membuatku senang nonton film dan main game sekarang keduanya jadi begitu membosankan. Duh aku mau ngapain ya? Untuk apa sih aku hidup? Dan bahkan semut kecil sekalipun punya arti di dunia ini. Lalu aku hidup buat apa dan punya makna apa ya?”
Aku ngoceh sendirian dalam hati. Merasakan sesaknya kegalauan dalam dada. *Dah kayak penyair aja nih.
Setelah 4 batang rokok habis dan tak ada lagi air yang keluar dari botol aku tinggalkan warung dan bergegas pergi.
Seumur hidup aku tak pernah merasa secomplicated ini. Aku sekarang berdiri menghadap sebuah bangunan besar tiga lantai dengan warna krem dominan yang di pintu depannya ada tulisan besar-besar dan jelas sekali, Perpustakaan Daerah.
Please, jangan tertawakan aku, aku tak sedang melucu. Memang sih tak ada dari sananya gamer sejati sama maniak film bisa masuk ke perpustakaan. Masuknya aja udah aneh, apalagi buku-buku yang hendak kubaca ini. Apa? Baca buku? Iya yah, sumpah deh aku juga merasa aneh tapi kalau tidak begini aku bakalan makin penasaran dan rasa ngantuk bin malas melakukan apapun tak bisa hilang.
“Kalau mau baca-baca buku tentang sejarah dunia dan islam belah mana ya Pak?”
Bapak penjaga perpustakaan kaget walau tak sepatah katapun keluar dari mulutnya lalu menunjuk sebuah lorong dengan rak penuh jajaran buku-buku tebal.
“Kok ada ya anak SMA dengan gaya super tidak banget dan tidak mirip kutu buku nanyain dimana letak buku sejarah dunia?” mungkin begitu pikir Bapak penjaga perpustakaan.
Yang mengunjungi perpustakaan sedikit sekali dan masih bisa dihitung dengan jari tangan. Padahal gedung ini jelas beberapa kali lebih besar dari tempat rental PS yang biasa jadi tempat kunjunganku sehari-hari. Tapi pengunjung perpustakaan tak lebih tuh dari setengah pengunjung rental PS sempit itu. Mana ini tempat kelasnya udah daerah lagi sedangkan rental PS itu hampir tiap RW ada coba? *Apa kata dunia?
Aku yang anak bergajul aja bisa ikut sedih lihat kenyataan miris ini, ya sedih karena ikut mikir. Mikirin kalau orang pintar (dukun kali), maksudnya cendikiawan di negeri ini sedikit maka negeri ini tidak akan maju-maju. Dan kalau negeri ini tidak maju aku yang bergajul ini tidak akan pernah bisa ngerasain naik trem, subway atau nonton piala dunia langsung di stadion internasional di negeri ini. Hah, sudahan ah mikir ngalor ngidul tidak jelas tentang dunia pendidikan.
Anehnya walaupun bukunya tebal-tebal dan nyaris tanpa gambar sama sekali tapi itu semua tidak menghalangiku untuk membaca. Ini beneran loh. Bagiku ini satu dari tujuh keajaiban duniaku sendiri. Kalau yang enam lagi kapan-kapan aja deh diceritain, hehehe. Kok bisa ya maniak game tiba-tiba jadi suka buku? Entahlah, tak biasanya aku baca buku semangat banget dan main game malas banget.
Aku lalu mengumpulkan beberapa buku tebal yang terkait dengan sejarah nabi, kekhilafahan islam, perang dunia dan sejarah kesultanan-kesultanan islam di dunia. Dengan percaya diri aku menenteng buku-buku tebal itu dan menyimpannya di atas meja. Beberapa pengunjung perpustakaan lain memandangku heran dan takjub.
“Wah ada profesor dari mana nih? Tuh buku dijadiin sarapan, makan siang ma makan malam pun tidak akan habis besoknya!” barangkali mereka mikir kayak gitu ya?
Dengan sabar aku mencari dan membaca tiap halaman buku itu dengan seksama tentu saja yang berkaitan dengan Umar dan kekhilafahan islam. Benarkah aku tak punya kesempatan untuk menjadi khalifah seperti Umar bin Khatab?
Semakin lama aku membaca, air mata tak terasa menetes berkembang menjadi lautan yang membanjiri pipiku. Mereka yang melihatku mungkin berpikir aku sedang membaca novel sedih tapi ini lebih dari sekedar novel. Kesedihan dan fakta-fakta yang menimpa agamaku sendiri, islam, baru kutahu saat ini. Dan aku juga sedih mungkin tak kan pernah bisa mewujudkan mimpi untuk menjadi khalifah.
Aku memang bodoh dan tolol, aku tahu itu. Tapi aku merasakan betapa sakitnya menjadi orang yang tidak tahu apa-apa tentang dirinya sendiri. Tidak tahu tentang agamanya, sekedar asal ada aja yang buat ditulis di KTP. Mungkin aku tak kan merasa sebegitu sakit jika tak bercita-cita menjadi khalifah.
Kawan, mungkin kalian sudah tahu. Dan aku yang bodoh, tolol, dan tidak tahu apa apa ini baru tahu sekarang. Beneran!
Sepeninggal Nabi besar kita Muhammad SAW, umat islam masuk zaman kekhilafahan islam yang empat. Yang bagiku keempat khalifah sekaligus sahabat dekat nabi itu begitu luar biasa banget, namun 3 dari 4 khalifah harus mengalami kematian yang tragis. Dibunuh. Bahkan kematian Ali bin Abi Thalib akhirnya menandakan akhir dari zaman kekhilafahan islam. Ternyata impianku untuk menjadi khalifah sudah pupus sejak 14 abad yang lalu.
Aku baru tahu ternyata setelah zaman kekhilafahan yang empat lalu umat islam masuk ke zaman kesultanan-kesultanan islam. Atau jangan-jangan ada diantara kalian yang baru tahu juga? Kesultanan berbeda dengan kekhilafahan, penguasa diturunkan berdasarkan darah berbeda dengan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Sultan kadang berbuat zalim namun tetap memegang teguh Quran dan Sunah.
Dan sejarah tentang kesultanan islam ini kadang bisa membuatku berbangga hati tapi juga menangis. Saat Eropa masih berada dalam zaman kegelapan, kesultanan islam yang berpusat di Baghdad telah maju dengan perpustakaan, rumah sakit dan angkatan laut yang hebat. Namun bangsa Tartar akhirnya meluluh-lantakan semua kemajuan yang dimiliki Baghdad.
Lagi-lagi aku baru tahu ternyata dulu Spanyol itu sempat jadi pusat kesultanan islam ya? Andalusia, aduh nama yang keren banget, beda-beda dikit lah sama Indonesia, hehe!
Ilmu pengetahun yang dijunjung tinggi dengan Universitas Cordobanya telah menginspirasi Eropa untuk masuk ke zaman Renaissance. Tapi sayangnya Cordoba pun mengalami nasib serupa dengan Baghdad. Inkuisisi dari Raja Ferdinand dan Ratu Isabela menghapuskan jejak kejayaan islam di Spanyol. Setelah tahu yang membantai muslim Andalusia dulu itu Ratu Isabela, mendadak aku jadi tak suka dengan lagu Isabela.
Dan bagi pemuda-pemudi seperti kita yang lahir di tahun 90an mungkin tak tahu sejarah hampir seabad yang lalu. Kesultanan islam terakhir Turki Usmani akhirnya runtuh tahun 1924 dan Israel pun mencaplok negara Palestina dan sebagian wilayah negara-negara Arab.
Dan berakhirlah masa kesultanan islam di dunia. Kini umat islam terpecah menjadi puluahan negara kecil yang lemah tanpa bisa menolong saudaranya sendiri. Contohnya ya Palestina itu.
Hah, kukubur deh impian menjadi khalifah dalam-dalam. Tapi perkenalanku yang tak sengaja dengan Umar telah memikat hatiku pada islam, walaupun aku sendiri islam loh bukan mualaf, cuma saja islam KTP, hehe! Kalau sinetronnya mah judulnya dah ditambah Bukan loh ya?
Iya kawan, aku bersyukur sekarang jadi orang malas. Malas main game, malas nonton film kolosal dan malas membuang-buang waktu untuk hal percuma dan tak berguna. Yah tidak bim salabim langsung jadi anak soleh lah, hanya belajar jadi seseorang yang berupaya jadi anak soleh.
Dan saat mempelajari islam, ada satu kejadian lagi yang benar-benar membuatku tersenyum memiliki nama Umar. Ya, kawan-kawan pasti tahu kan Umar yang kumaksud? Ini kejadian aneh bin lucu bin konyol karena kebodohanku, ketololanku, dan kedodolanku yang ngblank soal islam.
“Kenapa Ustadz tadi bilang kalau khalifah ada lima? Khulafaur rasyidin kan cuma empat sampai Ali doang Ustadz?” protesku pada Ustadz.
“Yang satu lagi Umar bin Abdul Aziz!” kata Ustadz.
“Umar yang mana Ustadz? Kan Umar bin Khatab jadi khalifah kedua dan khalifah yang terakhir Ali mati dibunuh.”
Saat itu aku benar-benar seperti orang yang pura-pura bodoh padahal aslinya bodoh beneran. Teman-teman satu pengajian dan Ustadznya bingung.
“Mar, kamu beneran tidak tahu siapa khalifah yang kelima? Umar bin Abdul Aziz!” kata Ihsan.
“Umar bin Abdul Aziz yang mana?”
Semua temanku dan Ustadz memandangku heran mungkin para malaikat yang sedang berada di mesjid geleng-geleng melihatku.
“Ini anak beneran tidak tahu Umar bin Abdul Aziz ya?” pikir mereka mungkin.
Saat itu aku beneran pede aja ngomong kayak gitu, tidak ada gugup atau merasa tidak tahu atau gimana gitu. Dan setelah diceritakan oleh Ustadz mengapa Umar bin Abdul Aziz sampai dijuluki khalifah kelima barulah aku sadar. Dan malu banget sempat-sempatnya keluar tanya dari mulutku, “Umar bin Abdul Aziz yang mana?”
Akhirnya aku punya kebanggaan lagi nih punya nama Umar. Karena sosok Umar bin Abdul Aziz ini sosok khalifah yang baik, santun dan hanya dalam tempo 2 tahun telah mengubah kondisi rakyatnya yang miskin menjadi sejahtera.
Mungkin mimpi Umar ini untuk menjadi khalifah bak jauh panggang dari api. Tapi, aku berdoa semoga ada Umar yang lain. Umar yang bermimpi ingin seperti Umar bin Khatab dan Umar bin Abdul Aziz, menjadi pemimpin yang adil, mensejahterakan rakyatnya dan menolong saudara-saudara muslim lainnya yang teraniaya.
Ya Allah, sungguh jiwa ini berdosa mengharap diri menjadi khalifah. Tapi biarkanlah hambaMu ini untuk menyaksikan khalifah Umar yang lain yang memimpin kejayaan islam dengan rahmat-MU. Aamiin. (annida)

Januari 2010.
Sore itu kau begitu semangat keluar dari toko berdinding kaca. Tangan kecilmu tak lepas dari kacamata berbingkai emas. Engkau berlenggak-lenggok penuh gaya memamerkan kaca mata barumu. Aku tahu engkau senang sekali. Aku juga senang meski aku tahu, bingkai itu bukan emas. Sudah berkali-kali aku katakan itu bukan emas asli, emas warna yang tidak cocok untuk anak-anak. Akan lebih baik kau pilih biru, kuning, pink atau warna lain yang lebih imut. Engkau telah menolak saranku dari jauh hari, engkau ingin warna emas. Terserah.
* * *
September 2009.
Aku menuntun motorku hati-hati memasuki rumah. Mengambil lap dan memasukkan mantel ke bawah jok. Kulihat gadis kecil itu masih sibuk mengancingkan baju seragam putihnya. Hari ini hari Senin, ada upacara bendera di sekolahnya. Nama panjangnya Melani, bukan Meilani atau Meylani, ia bukan lahir bulan Mei tapi bulan Juni, panggilannya Mela. Kulihat ia begitu kesulitan memasangkan kaitan dasi yang sudah rusak, intinya dasi yang setiap kali ia gunakan pasti akan tersangkut lama di leher, karena kaitan plastiknya sudah rusak. Aku tidak bisa menjahit, jadi kuberikan saja peniti kecil padanya untuk mengganti kaitan plastik yang rusak. Sayangnya itu bukan solusi yang baik. Hampir setiap hari ia pasti mengalami tragedi, kaitan dasi dari peniti itu sungguh sulit dipasangkan dan juga sulit dilepaskan. Pengait besi nan tipis itu berhasil mengerjai Mela setiap pagi, kasihan sekali gadis kecil itu. Ckckck.
Siapa peduli bajunya jadi jelek karena goresan peniti, bodoh sekali mengulang tragedi peniti setiap pagi. Aku sudah hilang kesabaran untuk memarahi, aku sudah muak dan bosan. Kini aku sudah terbiasa menyaksikannya sibuk dengan lilitan dasi menyebalkan itu. Kubiarkan saja.
“Cepat!” kataku tegas.
“Iya,” dasi itu berhasil terpasang, kurang rapi karena sedikit tergesa. Bergegas ia mengambil posisi di jok belakang, kubonceng untuk berangkat sekolah.
Ia anakku, baru kelas 5 SD. Ia anak yang tidak pintar tapi rajin, jujur rajin sekali. Aku sedikit heran, aku tahu IQ-ku sekitar 120. Tapi entahlah, menyebalkan sekali rasanya memiliki anak rata-rata seperti Mela, kadang tidak nyambung diajak ngomong. Tapi tak apalah, toh ia anak yang rajin dan tidak nakal.
Sepuluh tahun ini aku benar-benar berusaha sekuat tenaga menahan segala jerih hidup yang tiada terperi. Betapa teganya cintaku, Maya, meninggalkan aku dengan seorang bayi merah yang aku sangat jijik melihatnya. Kau tahu? Ia seperti anak tikus, merah, pipih dan ringkih. Aku bahkan tidak berani menyentuhnya selama beberapa minggu.
Aku frustasi, Maya mati ketika melahirkan bayi yang sama sekali tidak pernah kami harapkan kehadirannya. Sudah kukatakan aku akan menikahinya, aku bersumpah! Aku bilang padanya untuk menggugurkannya saja. Ia setuju. Namun memasuki minggu ke dua ,Maya berubah, ia jadi pendiam. Ia tidak bicara padaku, kerjanya hanya menangis saja. Kemudian ia memutuskan untuk membatalkan pengguguran bayinya. Murka ayahnya tak digubrisnya, ia memilih pergi dan tinggal bersamaku dan memaksa akan melahirkan.
Kau tahu, Maya adalah cintaku, cahayaku, jantungku, darahku, nafasku dan hidupku. Ia gadis yang menyenangkan, pintar dan sangat mengerti aku. Kami memang salah, kedekatan itu telah membuat kami salah langkah. Seharusnya sore itu kami ikut Didit ke labolatorium, tapi aku menahannya untuk sebentar menemani aku.

Oktober 2009.
Di sebuah sore,
Pak…”
Apa?” Aku terkesiap, obeng di tanganku jatuh ke lantai.
Kaget ya, pak?
Kamu ngagetin aja.” Tuduhku.
Hari ini ada PR Bahasa Indonesia. Mela diajarin ya.” Pintanya lembut dengan senyum manis terukir di wajahnya yang bulat.
Bahasa Indonesia ,kan, gampang.” Kataku sambil menata obeng kecil-kecil dalam wadah kotak bekas biskuit.
Yang ini agak sulit, Pak...” Dahinya sedikit berkerut. ”Yang ini lho pak...,” Ia bergegas mengambil tas sekolah dan mengeluarkan sebuah buku tulis lusuh. Aku sungguh tak suka melihatnya, melihat tas Mela, buruk sekali. Sungguh.
Rambutnya tidak teratur, sudah siang, pulang sekolah rambutnya memang demikian, berhamburan dari kuncirnya. Mela mengeluarkan sebuah buku besar yang sudah lusuh. Ia mulai mengeja,
Ep...ep…pa….pak….Am…am...Amin..Pak..A..min.”
“Me..mem…bel….membeli…”
“Kan….kan…gu..uuuuung….”
Kau tahu, inilah hal yang paling menyebalkan tinggal bersama anak bodoh yang sama sekali tidak menuruni gen-ku. Seingatku Maya gadis yang pintar, aku juga tidak ingat mana dia ntara kakek nenekku yang berotak bebal.
Maya, wajahnya oval, hidungnya mancung dan matanya sipit. Ia cerdas, beberapa kali mewakili kampus untuk lomba debat ilmiah, beberapa kali mendapat juara untuk karya tulis ilmiah. Tulisannya dimuat beberapa kali di koran ibu kota. Ia kritis dan tajam dalam menganalisis. Tidak buruk, bukan? Ialah Maya, yang kemudian menjadi istriku. Kesepian dan tiada perhatian, membuatku menjadi raja yang berbahagia. Aku berhasil merebut hatinya, awalnya hanya teguran ringan, karena kutahu ia adalah tipe gadis cuek yang tidak banyak lelaki sudi berdekatan dengannya.
Sejak hari itu, kami dekat. Ia curahkan segala beban dan penderitaan hidupnya. Ayahnya keras tanpa ampun, ibunya terlalu sibuk ke luar negeri dan pulang sebulan sekali. Ia tertekan, ia sendirian, ia butuh bantuan. Sumpah, aku sungguh mencintainya, tak ingin melepaskannya, tak ingin kehilangannya. Ternyata penolong itu adalah aku. Dan pada akhirnya penghancur itu juga adalah aku. Jadilah, seorang gadis kecil di depanku ini sebagai ”barang peninggalan” Maya yang terakhir.
Tapi gadis kecil ini mempermalukan aku di depan kalian. Ia berwajah bulat, bermata bola dan berhidung kecil, ia berotak tapi tidak penuh. Mendengarnya membaca membuatku ingin muntah. Andai bisa aku ingin lari dari rumah dan sedikit menenangkan diri ke club seperti dulu. Lihatlah matanya begitu dekat dengan buku, nyaris tak ada jarak. Kampungan sekali!
“Pak..Amin..membel..li..kan..kan...” Kutarik buku lusuh itu, aku penasaran sekali dengan kata yang gagal ia baca.
“Kangkung, bodoh! En dengan ge dibaca eng.. Ingat, eng. Ini dibaca kangkung. Baca seperti itu saja lama sekali.” Aku mendengus kesal.
He..he…” seperti biasa, umpatanku dibalas dengan senyuman malu-malu, wajahnya sama sekali tanpa dosa, padahal bila ia sadar, dosanya sudah begitu besar!
Ia telah membuat Maya mati dan membuat hidupku tidak pernah bahagia setelah itu. Hanya karena ia tak memiliki siapa-siapa lagi selain aku, terpaksa aku menghidupinya. Tak kan kubiarkan diriku menjadi kriminal demi menelantarkan anak kecil yang nyatanya anakku. Tidak berbobot sekali tingkat kejahatan yang aku lakukan. Aku malas masuk penjara. Ia mengedipkan matanya beberapa kali kemudian menekuri bukunya lagi.
Sudah kukatakan, ia bukan anak yang cerdas, tapi aneh sekali rasanya, kemampuan membacanya mengalami penurunan. Entah karena apa, mungkin karena akhir-akhir ini Mela sering main dan ngaji hingga larut. Pulang malam dan lelah, ia segera tidur.
Senin minggu lalu ia berkata, “Pak, Mela ngantuk, belajarnya sudah saja ya. Mela mau tidur duluan. Pintunya sudah tak kunci, tadi Mela dapat hadiah dari Pak Zainal karena sudah hafal bacaan tahyat awal.” Ia nyengir, memamerkan pensil hadiah dan kemudian berlalu. Aku diam saja, Mela pernah bilang sekali, “Pak shalat ya...biar masuk surga,” kemudian segera berlalu mengemasi tas sekolahnya. Aku diam saja, ingin marah.
***
Oktober 2009.
Se..se…set…set…Pak, ini huruf apa ya?” Mela mendekatkan buku lusuh itu lagi untuk yang kesekian kalinya.
Itu es-e-ti-i-a-pe, bacanya apa?”
Oh, se...setiap. Terimakasih, Pak.
“Har..hari…Pa..pak…tani..men…men.., yang ini apa ya, Pak?”
Mencangkul, Mela…” Aku melotot, semakin gemas.
Oh, iya ding!” Ia nyengir.
Me…men…mengg..geg..geg….Pak, ini huruf apa ya?”
Kuletakkan serbet motor dengan tergesa, kesabaranku penuh, aku sebal sekali.
“Anak bodoh! Kamu ngapaian aja di sekolah? Kelas empat kemarin kamu sudah lancar membaca ,kenapa sekarang kamu jadi bego begini?!”
“Ma..af, Pak. Mela juga sudah berusaha membaca dengan baik. Sampai Mela pusing, tulisannya agak kurang jelas. Sepertinya tulisannya kurang besar. Besok Mela baca bukunya Dita aja.
Ya sudah, masuk kamar sana!
Aku tidak akan memukul anak itu, karena selama ini aku jarang menyentuhnya, bahkan salaman dengan tangannya saja menyisakan sesuatu yang berat.
Aku hanya bisa menjadi tukang ojek yang berpenghasilan pas-pasan. Aku belajar menabung, entah untuk apa. Sadar ada anak yang menjadi tanggungan di sampingku, kini aku tidak pernah lagi menginjakkan kakiku di club atau ikut party, meski aku ingin sekali. Ada sesuatu yang mendorongku untuk terus menyisihkan beberapa rupiah setiap harinya.
Mela anak yang rajin dan patuh. Ia mau saja menuruti perintahku yang agak melelahkan.
“Mel, setelah cuci piring, sapu halaman belakang, ya. Banyak sampah, kamu kemarin pasaran sama Tuti, kalian jorok sekali. Setelah itu buang sampah dan ambil telur di kandang.Setelah mengucapkan titah itu, aku rebahan di kursi dan mengatakan,
Mel... air putih, pake gelas gede.”
Kau tahu, ia akan selalu menjawab, “Iya, Pak.” Ketika aku membuka mata dari ketiduran di atas kuri, segalanya sudah bersih dan rapi. Piring sudah dicuci, halaman belakang sudah disapu, telur dari kandang sudah siap di atas baskom, tumpukan puntung rokok di dalam asbak sudah hilang. Tak kusangka baju-baju kotorku juga sudah tergantung rapi di jemuran. Mela sudah mencucinya. Jadilah aku raja di rumahku sendiri.
***
Nopember 2009.
Ak….ak..akan….” Mela mulai mengeja bahasa Indonesia lagi.
Mela, aku benci mendengar ejaanmu. Telingaku bisa rusak.” Kataku sambil membalik halaman Koran dengan kasar.
Engkau terdiam lama sekali, engkau benar-benar patuh. Ternyata engkau membaca dalam hati, padahal aku tahu kau sangat tidak suka membaca seperti itu. Mela sangat suka membaca, suka sekali.
Ada yang aneh, lamat-lamat kudengar suara seperti tangisan. Kubiarkan, tapi naluri kebapakanku bergolak, kali ini aku tidak bisa menuruti keacuhanku pada gadis kecil itu. Kuberjalan menghampirinya, aku mendekat padanya perlahan. Jujur sedikit canggung, karena aku jarang sedekat ini dengannya.
Mela…,” panggilku perlahan.
Hik….hik….mata Mela sakit sekali. Bapak tidak usah khawatir, mungkin besok juga sembuh, kok. Tapi Mela sedih karena akhir-akhir ini Mela sengaja tidak menunjukkan nilai ulangan kepada Bapak.” Aku baru sadar, setiap kali selesai ulangan, Mela akan menunjukkan nilainya yang bekisar antara 78 sampai 80 kepadaku dengan wajah ceria penuh cinta. Namun sudah seminggu ini aku tidak pernah mendapat kabar gembira tentang nilai-nilai ulangan yang amat ia banggakan. Ia tetap saja memamerkan nilai ulanganya meski aku hanya mengangguk tak tertarik dan segera pergi untuk menyibukkan diri. Entahlah, aku masih belum bisa menerima ia sebagai anakku. Berat. Maaf.
“Memangnya nilai ulanganmu kenapa?” Aku penasaran.
Nilai ulangan Mela seminggu ini jelak-jelek. Mela juga dimarahi Bu Guru. Tapi bagaimana lagi. Mata Mela sakit sekali. Sakit...” Air mata itu, untuk pertama kalinya meleleh di pipinya, juga di pipiku. Ini hari pertama aku melihat Mela menagis. Aku perih. Aku seperti jatuh ke dalam jurang tak berdasar. Aku merasa bersalah, sangat bedosa melebihi apapun sebelumnya.
* * *
Januari 2010.
Jawaban itu telah aku dapatkan, ternyata tabunganku selama ini telah dipersiapakan Tuhan untuk membeli kacamata bagi Mela. Selama ini ia terlalu banyak menyembunyikan sesuatu, ia hanya ingin berusaha memenangkan cintaku, ia berusaha menjalankan segalanya dengan sempurna. Ia menutupi terlalu banyak luka. Dan aku membiarkannya menganga. Aku berdosa.
* * *
Maret 2010.
Lambat-lambat aku mulai merasakan cintanya, aku mulai menemukan hatiku yang selama ini hilang, yang selama ini beku. Gadis kecil itu telah mencairkannya, tak kusangka ternyata obat yang selama ini kucari adalah malaikat mungil yang setiap hari berada di dekatku. Ternyata karena dialah aku masih bertahan, karena ditemani olehnyalah aku kemudian bergerak dan tidak putus asa. Itu kabar baiknya. Kabar buruknya, kini Melaniku telah tiada, kanker mata. Ia telah tinggal di pusara. Tak akan kudengar suara ejaannya lagi. Tak akan kulihat rumah dalam keadaan rapi, tak akan kutemukan bekas dedaunan hasil pasarannya dengan Tuti, tak akan kulihat lagi wajah bulat itu tersenyum penuh cinta kepadaku.
Tuhan lebih sayang Mela, Ia mengambilnya lebih dahulu.” Sebuah tangan menyentuh bahuku.
Har, Tuhan tidak ingin membiarkan Mela hidup tanpa warna.
Har, mata Mela adalah pancaran kasih yang tak akan pernah aku lupa.
“Sabar ya, Har. Semua orang sayang Mela”. Orang-orang meninggalkan pusara.
Aku menahan bahu pak Zainal, ”Pak, saya mau belajar shalat...” ujarku pelan. Pak Zainal mengangguk pelan dan tersenyum di tengah air matanya yang aku tahu membanjir begitu deras.
Para pelayat itu adalah tetangga, para teman Mela. Aku sendiri, di samping gundukan tanah yang menimbun istriku, dan kini juga menimbun anakku. Kacamata berbingkai emas yang kubelikan sebulan lalu akan menjadi penyemangat dan penyulut lemahku. Aku akan bertahan, seperti selama ini engkau bertahan dalam setiap hari tanpa kebahagiaan bersamaku. Nak, semoga engkau masuk surga... 


from: annida-online.com

Ahlan Wa Sahlan

blog ini hanyalah sarana untuk renungan, introspeksi, dan motivasi diri. jika berkenan silahkan anda membaca atau mengcopy.

Dan jika tidak keberatan mohon beri komentar/saran/masukan.

Terima Kasih Telah Berkenan Bersilaturrahim Melalui Blog ini


merenunglah sejenak, untuk melunakkan hati dan menjernihkan fikiran...!!!

pembacaku

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Produk imoet buat si kecil