Cairan hangat berlinang melewati wajahku, menitik di atas kamera yang sedang kutenteng. Aku meraba keningku tepatnya sebelah kiri di dekat pelipisku, perih menggigit. Aku sempoyongan. Aku butuh pertolongan segera. Percuma aku berdebat dengan mereka sejak tadi dan ternyata ini yang mereka perbuat padaku.
Aku ingin protes, ingin juga melayangkan pukulanku pada mereka karena marah, tapi keributan di ujung jalan ini tidak mendukungku, orang-orang berpakaian militer itu ribut dan saling dorong-mendorong dengan warga sipil yang sebagian besar adalah lelaki dewasa yang baru saja usai Shalat Zhuhur bersamaku. Ditambah lagi perlakuan tentara itu padaku membuat para lelaki dewasa itu naik darah.
Aku limbung, membungkuk dan membiarkan tanganku menopang lutut agar tidak jatuh. Abu Haidar berlari dari seberang jalan menuju tempatku berjongkok tak seimbang. Dia Menerobos keributan jeruji manusia yang mulai rusuh penuh teriakan. Diambilnya kamera dari tanganku dan berusaha membopongku bangun.
“Kau terluka Abdi, kau harus diobati.” Begitu ucapnya dalam bahasa inggris yang bercampur kental dengan aksen Arab.
Aku berusaha tegak dan lepas dari bopongan tangannya. Kuraih kamera kesayanganku, merogoh sebuah sapu tangan cokelat lusuh untuk membersihkan titikan darah di atasnya. Kucoba pula menyeka wajahku. Abu Haidar meringis ngeri melihatku karena cairan kental itu justru merembes ke kerah bajuku dan sekitar wajahku. Aku terus menyekanya.
“Kau harus diobati Abdi! Segera!” Sekali lagi lelaki berkepala empat itu mencoba menopangku sepertinya ingin membawaku menyingkir dari tempat itu. Tapi kupaksa mengangkat kamera ke pundakku dan menyorotkan lensanya ke arah keributan itu. Menentukan fokus.
Seorang tentara bertubuh tinggi menunjuk tajam kearahku, ia menyingkap Abu Haidar dari hadapanku dengan kasar, dia menuju ke arahku. Matanya yang tajam seperti elang bertaut seperti hendak memangsaku. “Wartawan sialan, bosan hidup!” Hentakan tangannya membuat kamera di bahuku oleng. Tenaganya menohok tubuhku limbung ke belakang, aku hampir kehilangan keseimbangan.
“Kau mau mati Hah! Mau mati!” itu kalimat yang diulang-ulangnya dengan suara berat. Aku bertahan sambil memasang wajah tegas, walaupun perih masih terasa. Entah ceracau apa lagi yang keluar dari mulutnya, tidak jelas bagiku. Bahasa Ibrani belum pernah kupelajari. Sedang aku hanya menggerutukkan gigiku yang bersembunyi di balik rahang, sedikit bergumam membuatnya kesal.
DORRR!
Apa itu!?
Segera saja pandanganku melintasi bahu tentara garang itu. Biadab! Seenaknya mereka melepas tembakan pada warga sipil. Seorang lelaki terkapar, mengerang sakit, kakinya tertembus timah panas! Kuangkat kameraku. Namun belum sempat kuaktifkan, Sialan! Popor senapan itu menghantam tanganku. Kamera itu terlepas dan jatuh pasrah, aku tidak akan memaafkan hal yang dilakukannya dalam waktu sekejap itu.
Akan kuingat, sepatunya menendang kasar melontarkan kamera itu tiga meter dariku. Direngkuhnya kerah bajuku, dengan dialek Arab yang kasar dia menyumpahiku. Aku melawan dan ini menjadi awal perubahan dalam garis hidupku, suatu perubahan yang berarti.
Aku ingin protes, ingin juga melayangkan pukulanku pada mereka karena marah, tapi keributan di ujung jalan ini tidak mendukungku, orang-orang berpakaian militer itu ribut dan saling dorong-mendorong dengan warga sipil yang sebagian besar adalah lelaki dewasa yang baru saja usai Shalat Zhuhur bersamaku. Ditambah lagi perlakuan tentara itu padaku membuat para lelaki dewasa itu naik darah.
Aku limbung, membungkuk dan membiarkan tanganku menopang lutut agar tidak jatuh. Abu Haidar berlari dari seberang jalan menuju tempatku berjongkok tak seimbang. Dia Menerobos keributan jeruji manusia yang mulai rusuh penuh teriakan. Diambilnya kamera dari tanganku dan berusaha membopongku bangun.
“Kau terluka Abdi, kau harus diobati.” Begitu ucapnya dalam bahasa inggris yang bercampur kental dengan aksen Arab.
Aku berusaha tegak dan lepas dari bopongan tangannya. Kuraih kamera kesayanganku, merogoh sebuah sapu tangan cokelat lusuh untuk membersihkan titikan darah di atasnya. Kucoba pula menyeka wajahku. Abu Haidar meringis ngeri melihatku karena cairan kental itu justru merembes ke kerah bajuku dan sekitar wajahku. Aku terus menyekanya.
“Kau harus diobati Abdi! Segera!” Sekali lagi lelaki berkepala empat itu mencoba menopangku sepertinya ingin membawaku menyingkir dari tempat itu. Tapi kupaksa mengangkat kamera ke pundakku dan menyorotkan lensanya ke arah keributan itu. Menentukan fokus.
Seorang tentara bertubuh tinggi menunjuk tajam kearahku, ia menyingkap Abu Haidar dari hadapanku dengan kasar, dia menuju ke arahku. Matanya yang tajam seperti elang bertaut seperti hendak memangsaku. “Wartawan sialan, bosan hidup!” Hentakan tangannya membuat kamera di bahuku oleng. Tenaganya menohok tubuhku limbung ke belakang, aku hampir kehilangan keseimbangan.
“Kau mau mati Hah! Mau mati!” itu kalimat yang diulang-ulangnya dengan suara berat. Aku bertahan sambil memasang wajah tegas, walaupun perih masih terasa. Entah ceracau apa lagi yang keluar dari mulutnya, tidak jelas bagiku. Bahasa Ibrani belum pernah kupelajari. Sedang aku hanya menggerutukkan gigiku yang bersembunyi di balik rahang, sedikit bergumam membuatnya kesal.
DORRR!
Apa itu!?
Segera saja pandanganku melintasi bahu tentara garang itu. Biadab! Seenaknya mereka melepas tembakan pada warga sipil. Seorang lelaki terkapar, mengerang sakit, kakinya tertembus timah panas! Kuangkat kameraku. Namun belum sempat kuaktifkan, Sialan! Popor senapan itu menghantam tanganku. Kamera itu terlepas dan jatuh pasrah, aku tidak akan memaafkan hal yang dilakukannya dalam waktu sekejap itu.
Akan kuingat, sepatunya menendang kasar melontarkan kamera itu tiga meter dariku. Direngkuhnya kerah bajuku, dengan dialek Arab yang kasar dia menyumpahiku. Aku melawan dan ini menjadi awal perubahan dalam garis hidupku, suatu perubahan yang berarti.