c@k Ain

"Renungan Pembangun Jiwa"



PERAN GURU DALAM MEMBANGUN KEJUJURAN AKADEMIK


Baca judul di atas kok  jadi ingat masa-masa perjuangan dalam menyusun skripsi dulu ya, yang setiap pilihan katanya harus bisa diuraikan dengan jelas dan harus dipertanggungjawabkan betul di hadapan tim penguji, hmm... Namun kali ini saya tidak sedang menyusun sebuah skripsi, tesis, desertasi, ataupun karya ilmiah sejenisnya. Di sini saya hanya mencoba untuk mengungkapkan apa yang selama ini mengusik hati saya dalam menjalankan amanah sebagai seorang pendidik. Keseluruhan dari tulisan ini sesungguhnya saya tujukan buat diri saya pribadi sebagai upaya introspeksi dan perbaikan diri dalam menjalankan amanah yang mulia namun teramat berat pertanggung jawabannya kelak. Ya..amat berat pertanggung jawabannya...
Entah seperti apa rumitnya pertanyaan di yaumil hisab nanti bagi para guru, sebab tanpa disadari para guru telah memposisikan dirinya sebagai agen berubahan dan perbaikan umat yang misi utamanya adalah melahirkan generasi berkualitas, baik secara ruhiyah, fikriyah maupun jismiyah, tidak beda jauh lah sama misi para Rasul, bahkan bisa jadi para guru ini merupakan bagian dari mereka yang disebut sebagai “waratsatul anbiya’” alias para pewaris misi kenabian.
Misi utama inilah yang kelak harus dipertanggung jawabkan oleh setiap guru tanpa membedakan apakah ia guru olah raga, guru matematika, guru seni, guru IPA, terlebih lagi guru agama. Selama ia berstatus sebagai “guru” maka ia harus siap untuk menjadikan dirinya sebagai pribadi yang bisa ‘digugu lan ditiru’(bisa dipercaya dan layak jadi teladan). Seberapa banyak jumlah alumni yang telah kita luluskan, maka sejumlah itu pula yang harus kita pertanggung jawabkan kelak di hadapan Allah SWT. Bukankah setiap perbuatan akan ada pertanggung jawabannya meskipun itu seberat biji sawi?  Nah lho, berat amat kan pertanggung jawaban seorang guru..!!!

Oke, sekarang kita masuk ke inti pembahasan...
Sebenarnya tanpa diuraikan panjang lebar dan tanpa harus ‘menjelentrehkan’ berbagai teori pendidikan mutakhir maupun tulisan-tulisan para pakar pendidikan, saya yakin pembaca sudah bisa mengambil kesimpulan dari isi tulisan ini nanti, bahkan mungkin pembaca akan serempak menganggukkan kepala seandainya saya katakan bahwa “Guru Adalah Aktor Utama Dalam Membangun Kejujuran Akademik di Sekolah”. (emangnya yang baca berapa orang sih, maksa amat).
Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa dalam membentuk karakter peserta didik di sekolah guru menempati posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru adalah orang yang paling sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan peserta didik di sekolah. Guru juga merupakan sosok yang setiap sikap, ucapan dan perilakuanya akan terekam secara otomatis dalam memori siswanya. Oleh karenanya guru harus bisa  menampilkan diri sebagai teladan dan idola bagi peserta didik serta bisa menjadi sumber inpirasi dan motivasi. Sikap dan perilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga setiap ucapan, tindakan dan kepribadian guru secara otomatis akan menjadi cermin bagi siswanya. Bahkan untuk anak-anak usia Sekolah Dasar ada kecenderungan lebih mendengarkan gurunya dari pada orang tuanya sendiri.
Dengan demikian, guru memiliki peran sekaligus tanggung jawab yang besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, bermoral dan tentunya beraqidah lurus dan kuat. Tugas mulia ini bukanlah tugas ringan yang cukup dibebankan pada beberapa guru saja tanpa melibatkan yang lain, namun ini adalah tugas berat yang membutuhkan perencanaan, proses berkesinambungan, dan pengkondisian lingkungan yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam satu kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis. Artinya... kalau kita mengharapkan ‘kehadiran budaya jujur’ di lingkungan sekolah yang tentunya juga kita harapkan akan berimbas pada perilaku siswa di tengah masyarakat, maka sekolah kita harus dibangun di atas sistem yang jujur dan dijalankan secara jujur oleh orang-orang yang berkarakter jujur. Dan yang terpenting, ini harus muncul dari ‘kesadaran personal’ setiap guru, sebab segala sesuatu yang lahir dari sebuah kesadaran, ketulusan dan keikhlasan akan lebih kuat dampaknya dari pada sesuatu yang dibuat-buat atau direkayasa. Dan memang sebuah kejujuran tidak akan mungkin dibangun dengan mengkhianati kejujuran itu sendiri. Kejujuran hanya bisa dibangun di atas ketulusan dan keikhlasan yang tercermin dalam sikap, perkataan dan perilaku keseharian baik saat sendiri maupun di hadapan banyak orang. Bagaimana mungkin seorang guru akan menuntut siswanya jujur sementara ia sendiri gemar berdusta. Bagaimana guru menuntut siswanya disiplin, bertanggung jawab, menghargai sesama, peduli, empati, sementara sifat-sifat ini terasa asing bagi siswa karena apa yang ia lihat dari sang guru justru sebaliknya. Maka mustahil kita akan menciptakan budaya jujur jika kita para guru selaku aktor utama belum membudayakannya pada perilaku keseharian.
Udah deh..., saya kira dari sini saja sudah cukup kok kita ngomongin soal peran guru dalam membentuk karakter siswa.
Yang terpenting bagi kita para guru, perlu kiranya sejenak kita merenung dan bertanya pada diri sendiri; hingga detik ini sudah sejauh mana kita menyadari akan amanah mulia ini?. Pernahkan kita secara sadar menata niat saat akan berangkat ke sekolah dengan ungkapan “Bismillah, saya akan menunaikan amanah saya untuk mendidik anak-anak saya menjadi pribadi yang baik”? atau ungkapan semisalnya. Kita tidak pernah tau kapan kita akan menghadap Allah, namun kira-kira jawaban apa yang akan kita sampaiakan di saat hari penghisaban kelak?. Apakah hanya karena kita bukan guru agama kemudian kita akan terbebas dari tanggung jawab ini?. Sudahkah sikap, tutur kata, dan perilaku kita layak diteladani siswa-siswi kita?. Atau... jangan-jangan siswa kita menjadi susah diarahkan karena meniru sikap kita, menjadi pembohong karena mencontoh ucapan kita, bahkan menjadi pecundang karena terinspirasi perilaku kita? Na’udzubillah tsumma na’udzubillahi min dzalik...
Salam ta’dhim dan salut buat guru-guru kita dulu, atau setidaknya guru saya lah, mungkin pembaca pengalamannya tidak sama dengan yang saya alami waktu di Madrasah Ibtidaiyah(MI) dulu. Kalau ditinjau dari teori pendidikan atupun teori psikologi mungkin pengajaran yang diterapkan oleh guru saya dulu dianggap salah. Bayangkan saja, ndak di sekolah ndak di langgar(kebetulan guru-guru MI kebanyakan juga guru ngaji) beliau tidak pernah lupa dengan ‘senjata’ andalannya yakni sebilah rotan. Tidak jarang di antara kami para muridnya, berangkat sekolah kaki dalam keadaan mulus tapi pulangnya udah babak belur penuh dengan batik motif garis-garis dengan warna merah kebiru-biruan. Hampir pasti tidak ada satupun pelanggaran yang tidak berbuah cambukan. Jangankan pelanggaran-pelanggaran berat seperti ngomong kotor, berkelahi, tidak mengerjakan PR atau mbolos tanpa alasan, saya yang sudah mati-matian berusaha menghafal tashrif istilahy semalaman pun masih dapat bonus rotan karena pas di kelas hafalan saya tidak lancar. Bagi saya waktu itu pelajaran shorof adalah pelajaran yang paling menjenuhkan, tiap hari hafalan melulu sementara saya ndak pernah faham buat apa sih ilmu shorof itu, masak tiap pelajaran mesti hafalan melulu..???  maklum, memang di MI belum diajarkan secara detail mengenai ilmu shorof. Namun demikian saya dan teman-teman tetap berusaha menghafal sebisa mungkin kalau tidak ingin disambar rotannya pak guru. Ngeri kan..??
Tapi hebatnya, waktu itu tidak ada satu pun orang tua yang komplain apalagi menuntut guru di pengadilan atas perlakuan “kasar”nya. Mungkin karena sama-sama ikhlas kali ya.. yang ngajar niatnya tulus karena panggilan jiwa, orang tua percaya sepenuhnya pada guru, anak-anak pun bersemangat meski ada yang menempuh perjalanan berkilo-kilometer dengan perlengkapan belajar yang jauh dari layak. Begitu juga dengan saya, tidak ada sedikitpun di hati ini rasa benci apalagi dendam sama guru saya. Memang waktu itu saya dan mungkin juga teman-teman yang lain merasa takut tapi sama sekali tidak benci, bahkan nasehat-nasehat guru MI saya begitu kuat membekas dan sangat berkesan. Apalagi sekarang setelah saya menjadi guru, sungguh hanya ucapan syukur, rasa bangga, salut, dan ta’dhim setiap kali mengenang guru-guru MI saya dulu yang beberapa di antara beliau telah menghadap Allah SWT. Sekalipun guru-guru dulu mendidik dengan “kekerasan” namun jujur saya akui, dari sikap beliau lah saya faham akan arti kedisiplinan, pentingnya menjalankan sebuah amanah, menepati janji, siap menghadapi resiko akibat perbuatan sendiri, dan bagaimana kita bisa menempatkan diri serta menghargai orang lain terutama kepada yang lebih tua. Dan satu hal yang tak pernah terlewatkan, nilai-nilai aqidah selalu beliau tanamkan di setiap pembelajaran bahkan di saat beliau marah atau memberikan hukuman. Sekalipun saya tidak suka dengan sambaran rotannya namun saya sangat kagum dengan karakternya, ketegasannya, kedisiplinannya, kejujurannya serta keteladanan yang sehari-hari saya saksikan bukan hanya ketika di sekolah namun juga ketika di langgar, di rumah, di tengah masyarakat, bahkan ketika di sawah sekalipun. Beliau-beliau ini tidak hanya menjadi guru saat di sekolah namun juga menjadi guru di tengah masyarakat sehingga tak satupun warga kampung yang memanggil nama beliau tanpa menyematkan kata ”pak guru”. Sungguh, sekalipun kesejahteraan guru saat itu jauh dari layak namun profesi guru menempati posisi yang amat dimuliakan, bukan karena gelarnya, bukan karena kekayaannya namun karena kekuatan karakternya. Setiap nasehatnya akan didengar dan ditaati dengan penuh kesungguhan oleh murid-muridnya. Ini semua tiada lain karena apa yang dinasehatkan oleh guru, maka seperti itu pula yang disaksikan oleh murid pada diri gurunya tersebut.
Nah, sekarang coba kita bandingin dengan kita guru sekarang, sudahkah seperti itu...???
Sorry ya kalau ada yang tersinggung... bukan bermaksud meragukan guru sekarang, saya yakin teman-teman guru sekarang banyak yang lebih baik dan lebih profesional dari guru-guru dulu, apalagi sekarang kan guru-guru sudah banyak yang mendapat pengakuan dari pemerintah dengan sertifikat resmi sebagai "guru profesional".
Saya hanya ingin menekankan bahwa seiring meningkatnya pendidikan dan pengetahuan guru-guru sekarang serta banyaknya teori-teori pendidikan muttakhir yang variatif, kreatif, inovatif dan inspiratif harusnya menjadikan pendidikan kita lebih baik dan semakin kebih baik lagi. Tentunya baik di sini bukan sekedar dari sisi nilai akademik semata. Jauh lebih penting, yaitu bagaimana sekolah kita mampu mendidik para siswa menjadi manusia yang humanis dan berkarakter, dan ini harus kita mulai dari diri kita. Yakin deh, kalau semua kita lakukan dengan jujur, ikhlas, kita mulai dari diri kita, maka anak-anak pun akan dengan mudah menerima setiap ucapan kita dan tanpa sadar akan meniru perilaku positif kita.
Semoga apa yang saya tulis ini bisa sedikit menambah nilai kebaikan dan membawa perbaikan untuk diri saya pribadi, syukur-syukur kalau juga bisa bermanfaat bagi para pembaca khususnya saudara-saudaraku para guru. Jika ada yang kurang berkenan mohon arahan dan bimbingannya. Komentar2 positif anda sangat kami harapkan..

Sukses buat kita semua, insyaallah..!!!

Ahlan Wa Sahlan

blog ini hanyalah sarana untuk renungan, introspeksi, dan motivasi diri. jika berkenan silahkan anda membaca atau mengcopy.

Dan jika tidak keberatan mohon beri komentar/saran/masukan.

Terima Kasih Telah Berkenan Bersilaturrahim Melalui Blog ini


merenunglah sejenak, untuk melunakkan hati dan menjernihkan fikiran...!!!

pembacaku

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Produk imoet buat si kecil