Suatu
ketika di sebuah sekolah, diadakan pementasan drama yang ini merupakan kegiatan
rutin sebagai bentuk apresiasi atas minat dan bakat siswa. Pentas drama yang
meriah, dengan pemain yang semuanya siswa-siswi di sana. Setiap anak mendapat
peran dan memakai kostum sesuai dengan tokoh yang mereka perankan masing-masing.
Semuanya tampak semangat dan bersungguh-sungguh dalam memainkan perannya, sebab
pada pementasan itu akan ada pemberian reward kepada anak yang tampil terbaik
dalam pentas.
Di
depan panggung, semua orangtua murid ikut hadir dan menyemarakkan acara itu.
Lakon drama berjalan dengan sempurna. Semua anak tampil dengan maksimal. Ada yang berperan sebagai petani, lengkap dengan cangkul dan topinya, ada juga yang menjadi nelayan, dengan jala yang disampirkan di bahu. Di sudut sana, tampak pula seorang anak dengan raut muka ketus, sebab dia kebagian peran pak tua yang pemarah, sementara di sudut lain, terlihat anak dengan wajah sedih, layaknya pemurung yang selalu menangis. Tepuk tangan dari para orangtua dan guru kerap terdengar menyeruak di sisi kiri dan kanan panggung.
Lakon drama berjalan dengan sempurna. Semua anak tampil dengan maksimal. Ada yang berperan sebagai petani, lengkap dengan cangkul dan topinya, ada juga yang menjadi nelayan, dengan jala yang disampirkan di bahu. Di sudut sana, tampak pula seorang anak dengan raut muka ketus, sebab dia kebagian peran pak tua yang pemarah, sementara di sudut lain, terlihat anak dengan wajah sedih, layaknya pemurung yang selalu menangis. Tepuk tangan dari para orangtua dan guru kerap terdengar menyeruak di sisi kiri dan kanan panggung.
Tibalah
kini akhir dari pementasan drama. Dan itu berarti sudah saatnya Guru mengumumkan
siapa yang berhak mendapat gelar pemain peran terbaik. Setiap anak tampak
berdebar dalam hati, berharap mereka terpilih menjadi pemain drama yang
terbaik. Dalam komat-kamit mereka berdoa supaya Pak Guru akan menyebutkan nama
mereka dan mengundang ke atas panggung untuk menerima penghargaan. Para
orangtua pun ikut berdoa, membayangkan anak mereka menjadi yang terbaik.
Pak Guru telah menaiki panggung, dan tak lama kemudian ia menyebutkan sebuah nama. Ahha… ternyata, anak yang berperan menjadi pak tua pemarah-lah yang menjadi juara. Dengan wajah berbinar, sang anak bersorak gembira. “Aku menang…”, begitu ucapnya. Ia pun bergegas menuju panggung diiringi kedua orangtuanya yang tampak bangga. Tepuk tangan terdengar lagi. Sang orangtua menatap sekeliling, menatap ke seluruh hadirin dengan penuh rasa bangga.
Pak Guru telah menaiki panggung, dan tak lama kemudian ia menyebutkan sebuah nama. Ahha… ternyata, anak yang berperan menjadi pak tua pemarah-lah yang menjadi juara. Dengan wajah berbinar, sang anak bersorak gembira. “Aku menang…”, begitu ucapnya. Ia pun bergegas menuju panggung diiringi kedua orangtuanya yang tampak bangga. Tepuk tangan terdengar lagi. Sang orangtua menatap sekeliling, menatap ke seluruh hadirin dengan penuh rasa bangga.
Pak
Guru menyambut mereka. Sebelum menyerahkan hadiah, ia sedikit bertanya kepada
sang “jagoan, “Nak, kamu memang hebat. Kamu pantas mendapatkannya. Peranmu
sebagai seorang yang pemarah terlihat bagus sekali. Apa rahasianya ya, sehingga
kamu bisa tampil sebaik ini? Kamu pasti rajin mengikuti latihan, tak heran jika
kamu terpilih menjadi yang terbaik..” tanya Pak Guru. “Coba kamu ceritakan
kepada kami semua, apa yang bisa membuat kamu seperti ini…” Dengan polos sang
anak menjawab, “Ayah sering marah-marah dan berteriak kepada saya di rumah, bahkan
kepada ibu pun ayah sering membentak-mbentak, jadi ya saya ikuti gayanya Ayah.”
Tampak
sang Ayah yang mulai tercenung. Usai bibir anak itu terkatup keadaan terasa
senyap. Begitupun kedua orangtua sang anak di atas panggung, mereka tampak
tertunduk. Jika sebelumnnya mereka merasa bangga, kini keadaannya berubah.
Seakan, mereka berdiri sebagai terdakwa di muka pengadilan. Mereka belajar
sesuatu hari itu. Sungguh tak pernah terbayangkan dalam benak sang orang tua
bahwa anaknya akan merekam begitu kuat dan detail setiap perilakunya di rumah. Ia
merasa ada yang perlu diluruskan dalam perilaku mereka.
Saudaraku,
setiap anak, adalah duplikat dari orang di sekitarnya. Setiap anak adalah
peniru, dan mereka belajar untuk menjadi salah satu dari kita. Mereka akan
belajar untuk menjadikan kita sebagai contoh, sebagai panutan dalam bertindak
dan berperilaku. Mereka juga akan hadir sebagai sosok-sosok cermin bagi kita,
tempat kita bisa berkaca pada semua hal yang kita lakukan. Mereka laksana air
telaga yang merefleksikan bayangan kita saat kita menatap dalam hamparan
perilaku yang mereka perbuat.
Saudaraku, saya ingin
berpesan kepada kita semua, “berteriaklah kepada anak-anak kita saat kita
marah, maka, kita akan membesarkan seorang pemarah. Bermuka ketuslah kepada
mereka saat kita marah, maka kita akan membesarkan seorang pembenci, dan
biarkanlah mulut dan tangan kita yang bertindak secara liar saat kita marah,
maka kita akan menciptakan seorang yang penuh dengki…jika memang itu yang
diinginkan
0 komentar:
Posting Komentar
Sobat blggor, jangan lupa komentarnya ya...!!!
mo nulis saran, tanggapan, masukan, atau sekedar kenalan pun boleh koq
kalo kesulitan posting komen, coba klik dulu "select profil" => Name/URL. cukup tulis nama anda jika belum punya URL. makasih ya...!!!