Panggil aku Umar.
Aku seorang muslim... KTP! Hahaha, aku tak sedang bercanda atau melawak. Aku hanya orang biasa saja, bahkan tak jelas alasan atau arti dari ‘Umar’, nama pemberian ibu dan bapakku ini. Sampai suatu ketika aku baru mengetahui bahwa Umar adalah sebuah nama yang agung.
Aku menyukai film kolosal, game-game perang dan sedikit tawuran (?). yang terakhir lebih baik jangan ditiru ya! Lalu apa hubungannya dengan Umar?
Semua orang islam tahu Nabi Muhammad, tapi tidak semua tahu tentang Umar. Aku juga awalnya tidak tahu siapa itu Umar? Ketika sorang teman membawa buku 100 tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah karangan Michael H. Hart, aku langsung tertarik. Tapi bukan Rasulullah yang ditempatkan di urutan pertama yang membuatku tertarik. Kenapa? Kan sudah kubilang aku ini muslim... KTP, he!
Justru seseorang yang berada di belakang angka 51, Umar bin Khatab. Bukan karena dia salah satu sahabat dekat rasul, awalnya aku malah ngeblank sama sekali. Karena namanya saja yang sama denganku, Umar, makanya aku tertarik membaca biografinya.
Dan setelah membaca profil Umar, aku semakin tertarik dengan Umar. Karena bagiku Umar benar-benar aku banget, hahaha. Bahasa apaan tuh ya, aku banget? Tak perlu dipermasalahkan soalnya aku juga tak mengerti apa yang kukatakan. Umar seperti cermin diriku 14 abad yang lalu. Dia berwatak keras, dan komitmennya tak bisa diganggu gugat, pembeda antara hak dan batil. Cie, aku banget lah pokoknya. Hahaha!
Dan yang paling aku sukai dari Umar yang dikatakan buku itu adalah Umarlah yang mengawali penyebaran islam ke seluruh dunia. Menaklukan jazirah Arab sampai ke Afrika Utara dan Spanyol sampai ke perbatasan Perancis.
Sumpah deh, keren banget tuh orang ya? Gila, luar biasa deh pokoknya Umar bin Khatab.
Makanya ketika pelajaran BK dengan semangat percaya diri kuberbicara di depan kelas tentang impianku.
“Aku ingin menjadi Khalifah seperti Umar bin Khatab!”
“Hahaha!” Anehnya ada seorang siswa yang tertawa.
Padahal aku tidak sedang ngomik di panggung stand up comedy. Jadi bukan hanya aku, seluruh mata siswa dan Bu guru BK di kelas memandang siswa paling pintar juga ketua Rohis dan pastinya siswa yang paling kubenci, Ayyas.
“Jangan mimpi kamu Mar, zaman kekhilafahan islam sudah berakhir semenjak terbunuhnya Ali bin Abi Thalib. Dan zaman kesultanan islam juga sudah runtuh tahun 1924 di Turki. Umat islam sekarang sudah terpecah lebih dari 50 negara. Jadi udah tidak ada khalifah sekarang!” Jelas Ayyas panjang lebar. Jujur aku tak paham sama sekali dengan semua yang dia katakan. Kekhilafahan, kesultanan, maksudnya?
Aku geleng-geleng kepala, dan melihat Bu Ani guru BK yang sangat agamis dengan jilbab lebarnya.
“Khalifah bukan selalu berarti pemimpin dari kekhilafahan islam, tapi bisa juga dimaknai pemimpin bagi diri sendiri. Masing-masing diri adalah khalifah bagi dirinya sendiri. Dan bukanlah Allah menjadikan kita manusia sebagai khalifah di bumi?” kata Bu Ani.
“Maksudku bukan khalifah bagi diri sendiri, Bu Ani. Tapi aku benar-benar ingin seperti Khalifah Umar bin Khatab yang melakukan serangkaian penaklukan dan menyebarkan islam ke seluruh dunia!” ucapku penuh semangat. Bu Ani hanya tersenyum, dan tawa tak diundang kembali hadir.
“Ah, hahaha! Kan sudah kubilang Mar, kekhilafahan itu sudah musnah, tidak ada. Kalau mimpi jangan ketinggian, jangan bermimpi hal-hal yang utopis deh.”
Aku tersentak, mulutku tercekat. Utopis? Utopia, benarkah bermimpi menjadi seorang khalifah itu tak mungkin dan tak rasional. Memang benar dalam hal agama dan pengetahuan islam aku kalah jauh sama siswa yang dua kali melempar tawa aneh padaku. Tapi benarkah ini impian yang mustahil? Impossible dream? Tak adakah seorang anak muda di dunia ini yang lebih kuat, tegas, pintar pokoknya lebih segalanya dariku memimpikan hal yang sama denganku? Dan apakah dia tetap menganggap impiannya itu hal yang mustahil?
“Utopia” dan “Utopis” setiap waktu muncul bergantian di dalam kepalaku. Kegemaranku untuk menonton film kolosal dan bermain game perang jadi menurun. Apakah ada hubungannya antara pikiran galau dapat menimbulkan penurunan kecanduan main game? Sekali lagi aku tak tahu.
“Kamu kenapa Mar? Kok lesu banget kelihatannya, dari tadi main kalah mulu nanti levelmu turun loh!” kata Dafa teman segameku.
Awalnya aku tak menganggap kata-katanya, tapi semakin lama melihat layar TV 28 inch ini semakin membuatku muak. “Udahan dulu ah, Dafa. Hari ini aku lagi malas banget nih!” kusimpan joystick yang sudah sangat akrab dengan kedua tanganku dan pergi dari rental playstation.
“Masih sejam lagi loh Mar, beneran mau udahan aja?”
“Ya udah. Kamu lanjutin aja deh sendiri. Biar biaya rentalnya aku yang bayar.” Aku tak berhasrat mendengar ocehan Dafa. Setelah membayar aku keluar rental tanpa arah.
Lalu aku langsung duduk sejenak di warung sebelah rental PS untuk menghisap sebatang rokok kretek ditemani dengan minuman energi botolan.
“Hah, aku mau ngapian ya sebenarnya? Dua hal yang paling membuatku senang nonton film dan main game sekarang keduanya jadi begitu membosankan. Duh aku mau ngapain ya? Untuk apa sih aku hidup? Dan bahkan semut kecil sekalipun punya arti di dunia ini. Lalu aku hidup buat apa dan punya makna apa ya?”
Aku ngoceh sendirian dalam hati. Merasakan sesaknya kegalauan dalam dada. *Dah kayak penyair aja nih.
Setelah 4 batang rokok habis dan tak ada lagi air yang keluar dari botol aku tinggalkan warung dan bergegas pergi.
Seumur hidup aku tak pernah merasa secomplicated ini. Aku sekarang berdiri menghadap sebuah bangunan besar tiga lantai dengan warna krem dominan yang di pintu depannya ada tulisan besar-besar dan jelas sekali, Perpustakaan Daerah.
Please, jangan tertawakan aku, aku tak sedang melucu. Memang sih tak ada dari sananya gamer sejati sama maniak film bisa masuk ke perpustakaan. Masuknya aja udah aneh, apalagi buku-buku yang hendak kubaca ini. Apa? Baca buku? Iya yah, sumpah deh aku juga merasa aneh tapi kalau tidak begini aku bakalan makin penasaran dan rasa ngantuk bin malas melakukan apapun tak bisa hilang.
“Kalau mau baca-baca buku tentang sejarah dunia dan islam belah mana ya Pak?”
Bapak penjaga perpustakaan kaget walau tak sepatah katapun keluar dari mulutnya lalu menunjuk sebuah lorong dengan rak penuh jajaran buku-buku tebal.
“Kok ada ya anak SMA dengan gaya super tidak banget dan tidak mirip kutu buku nanyain dimana letak buku sejarah dunia?” mungkin begitu pikir Bapak penjaga perpustakaan.
Yang mengunjungi perpustakaan sedikit sekali dan masih bisa dihitung dengan jari tangan. Padahal gedung ini jelas beberapa kali lebih besar dari tempat rental PS yang biasa jadi tempat kunjunganku sehari-hari. Tapi pengunjung perpustakaan tak lebih tuh dari setengah pengunjung rental PS sempit itu. Mana ini tempat kelasnya udah daerah lagi sedangkan rental PS itu hampir tiap RW ada coba? *Apa kata dunia?
Aku yang anak bergajul aja bisa ikut sedih lihat kenyataan miris ini, ya sedih karena ikut mikir. Mikirin kalau orang pintar (dukun kali), maksudnya cendikiawan di negeri ini sedikit maka negeri ini tidak akan maju-maju. Dan kalau negeri ini tidak maju aku yang bergajul ini tidak akan pernah bisa ngerasain naik trem, subway atau nonton piala dunia langsung di stadion internasional di negeri ini. Hah, sudahan ah mikir ngalor ngidul tidak jelas tentang dunia pendidikan.
Anehnya walaupun bukunya tebal-tebal dan nyaris tanpa gambar sama sekali tapi itu semua tidak menghalangiku untuk membaca. Ini beneran loh. Bagiku ini satu dari tujuh keajaiban duniaku sendiri. Kalau yang enam lagi kapan-kapan aja deh diceritain, hehehe. Kok bisa ya maniak game tiba-tiba jadi suka buku? Entahlah, tak biasanya aku baca buku semangat banget dan main game malas banget.
Aku lalu mengumpulkan beberapa buku tebal yang terkait dengan sejarah nabi, kekhilafahan islam, perang dunia dan sejarah kesultanan-kesultanan islam di dunia. Dengan percaya diri aku menenteng buku-buku tebal itu dan menyimpannya di atas meja. Beberapa pengunjung perpustakaan lain memandangku heran dan takjub.
“Wah ada profesor dari mana nih? Tuh buku dijadiin sarapan, makan siang ma makan malam pun tidak akan habis besoknya!” barangkali mereka mikir kayak gitu ya?
Dengan sabar aku mencari dan membaca tiap halaman buku itu dengan seksama tentu saja yang berkaitan dengan Umar dan kekhilafahan islam. Benarkah aku tak punya kesempatan untuk menjadi khalifah seperti Umar bin Khatab?
Semakin lama aku membaca, air mata tak terasa menetes berkembang menjadi lautan yang membanjiri pipiku. Mereka yang melihatku mungkin berpikir aku sedang membaca novel sedih tapi ini lebih dari sekedar novel. Kesedihan dan fakta-fakta yang menimpa agamaku sendiri, islam, baru kutahu saat ini. Dan aku juga sedih mungkin tak kan pernah bisa mewujudkan mimpi untuk menjadi khalifah.
Aku memang bodoh dan tolol, aku tahu itu. Tapi aku merasakan betapa sakitnya menjadi orang yang tidak tahu apa-apa tentang dirinya sendiri. Tidak tahu tentang agamanya, sekedar asal ada aja yang buat ditulis di KTP. Mungkin aku tak kan merasa sebegitu sakit jika tak bercita-cita menjadi khalifah.
Kawan, mungkin kalian sudah tahu. Dan aku yang bodoh, tolol, dan tidak tahu apa apa ini baru tahu sekarang. Beneran!
Sepeninggal Nabi besar kita Muhammad SAW, umat islam masuk zaman kekhilafahan islam yang empat. Yang bagiku keempat khalifah sekaligus sahabat dekat nabi itu begitu luar biasa banget, namun 3 dari 4 khalifah harus mengalami kematian yang tragis. Dibunuh. Bahkan kematian Ali bin Abi Thalib akhirnya menandakan akhir dari zaman kekhilafahan islam. Ternyata impianku untuk menjadi khalifah sudah pupus sejak 14 abad yang lalu.
Aku baru tahu ternyata setelah zaman kekhilafahan yang empat lalu umat islam masuk ke zaman kesultanan-kesultanan islam. Atau jangan-jangan ada diantara kalian yang baru tahu juga? Kesultanan berbeda dengan kekhilafahan, penguasa diturunkan berdasarkan darah berbeda dengan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Sultan kadang berbuat zalim namun tetap memegang teguh Quran dan Sunah.
Dan sejarah tentang kesultanan islam ini kadang bisa membuatku berbangga hati tapi juga menangis. Saat Eropa masih berada dalam zaman kegelapan, kesultanan islam yang berpusat di Baghdad telah maju dengan perpustakaan, rumah sakit dan angkatan laut yang hebat. Namun bangsa Tartar akhirnya meluluh-lantakan semua kemajuan yang dimiliki Baghdad.
Lagi-lagi aku baru tahu ternyata dulu Spanyol itu sempat jadi pusat kesultanan islam ya? Andalusia, aduh nama yang keren banget, beda-beda dikit lah sama Indonesia, hehe!
Ilmu pengetahun yang dijunjung tinggi dengan Universitas Cordobanya telah menginspirasi Eropa untuk masuk ke zaman Renaissance. Tapi sayangnya Cordoba pun mengalami nasib serupa dengan Baghdad. Inkuisisi dari Raja Ferdinand dan Ratu Isabela menghapuskan jejak kejayaan islam di Spanyol. Setelah tahu yang membantai muslim Andalusia dulu itu Ratu Isabela, mendadak aku jadi tak suka dengan lagu Isabela.
Dan bagi pemuda-pemudi seperti kita yang lahir di tahun 90an mungkin tak tahu sejarah hampir seabad yang lalu. Kesultanan islam terakhir Turki Usmani akhirnya runtuh tahun 1924 dan Israel pun mencaplok negara Palestina dan sebagian wilayah negara-negara Arab.
Dan berakhirlah masa kesultanan islam di dunia. Kini umat islam terpecah menjadi puluahan negara kecil yang lemah tanpa bisa menolong saudaranya sendiri. Contohnya ya Palestina itu.
Hah, kukubur deh impian menjadi khalifah dalam-dalam. Tapi perkenalanku yang tak sengaja dengan Umar telah memikat hatiku pada islam, walaupun aku sendiri islam loh bukan mualaf, cuma saja islam KTP, hehe! Kalau sinetronnya mah judulnya dah ditambah Bukan loh ya?
Iya kawan, aku bersyukur sekarang jadi orang malas. Malas main game, malas nonton film kolosal dan malas membuang-buang waktu untuk hal percuma dan tak berguna. Yah tidak bim salabim langsung jadi anak soleh lah, hanya belajar jadi seseorang yang berupaya jadi anak soleh.
Dan saat mempelajari islam, ada satu kejadian lagi yang benar-benar membuatku tersenyum memiliki nama Umar. Ya, kawan-kawan pasti tahu kan Umar yang kumaksud? Ini kejadian aneh bin lucu bin konyol karena kebodohanku, ketololanku, dan kedodolanku yang ngblank soal islam.
“Kenapa Ustadz tadi bilang kalau khalifah ada lima? Khulafaur rasyidin kan cuma empat sampai Ali doang Ustadz?” protesku pada Ustadz.
“Yang satu lagi Umar bin Abdul Aziz!” kata Ustadz.
“Umar yang mana Ustadz? Kan Umar bin Khatab jadi khalifah kedua dan khalifah yang terakhir Ali mati dibunuh.”
Saat itu aku benar-benar seperti orang yang pura-pura bodoh padahal aslinya bodoh beneran. Teman-teman satu pengajian dan Ustadznya bingung.
“Mar, kamu beneran tidak tahu siapa khalifah yang kelima? Umar bin Abdul Aziz!” kata Ihsan.
“Umar bin Abdul Aziz yang mana?”
Semua temanku dan Ustadz memandangku heran mungkin para malaikat yang sedang berada di mesjid geleng-geleng melihatku.
“Ini anak beneran tidak tahu Umar bin Abdul Aziz ya?” pikir mereka mungkin.
Saat itu aku beneran pede aja ngomong kayak gitu, tidak ada gugup atau merasa tidak tahu atau gimana gitu. Dan setelah diceritakan oleh Ustadz mengapa Umar bin Abdul Aziz sampai dijuluki khalifah kelima barulah aku sadar. Dan malu banget sempat-sempatnya keluar tanya dari mulutku, “Umar bin Abdul Aziz yang mana?”
Akhirnya aku punya kebanggaan lagi nih punya nama Umar. Karena sosok Umar bin Abdul Aziz ini sosok khalifah yang baik, santun dan hanya dalam tempo 2 tahun telah mengubah kondisi rakyatnya yang miskin menjadi sejahtera.
Mungkin mimpi Umar ini untuk menjadi khalifah bak jauh panggang dari api. Tapi, aku berdoa semoga ada Umar yang lain. Umar yang bermimpi ingin seperti Umar bin Khatab dan Umar bin Abdul Aziz, menjadi pemimpin yang adil, mensejahterakan rakyatnya dan menolong saudara-saudara muslim lainnya yang teraniaya.
Ya Allah, sungguh jiwa ini berdosa mengharap diri menjadi khalifah. Tapi biarkanlah hambaMu ini untuk menyaksikan khalifah Umar yang lain yang memimpin kejayaan islam dengan rahmat-MU. Aamiin. (annida)
0 komentar:
Posting Komentar
Sobat blggor, jangan lupa komentarnya ya...!!!
mo nulis saran, tanggapan, masukan, atau sekedar kenalan pun boleh koq
kalo kesulitan posting komen, coba klik dulu "select profil" => Name/URL. cukup tulis nama anda jika belum punya URL. makasih ya...!!!